Hidayatullah.com–Sebagian generasi muda di Sumatera Barat dinilai salah dalam memaknai tradisi “balimau” (mandi menyucikan diri) dalam menyambut Ramadhan.
“Makna `balimau` sudah bergeser dari tradisinya, terkhusus kalangan generasi muda karena lebih banyak jadi ajang hura-hura, daripada makna tradisi balimau tersebut,” kata Ketua LKAAM Sumbar, Sayuti Datuk Rajo Pangulu di Padang, Selasa (17/7/2012).
Menurut dia, tradisi “balimau” kerap terjadi perbuatan yang dinilai maksiat. Misalnya, ada yang menjadikan tradisi “balimau” sebagai ajang pacaran. Bahkan tak sedikit lelaki yang memelototi tubuh wanita yang lekuk tubuhnya terlihat jelas sebab badannya berbalut kain basah.
Tingkah laku sebagian orang itulah yang membuat tokoh agama di Minangkabau tidak merasa senang tradisi “balimau” oleh kalangan generasi muda, sehingga menuding tradisi “balimau” lebih banyak mudharatnya daripada manfaat, katanya.
Padahal makna dari tradisi “balimau” adalah kebersihan hati dan tubuh manusia dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa.
Menurut dia, prosesi “balimau” pada awalnya positif dan mendapat dukungan agama. Lagi pula, tidak saja dilakukan pada saat memasuki bulan puasa.
“Awalnya `balimau` itu tidak hanya dilakukan pada saat masuk bulan puasa. Tempatnya tidak dilakukan di tempat pemandian umum, tapi di tempat pemandian masing-masing dan bukan berpasang-pasangan,” katanya, dalam berita Antara.
Tradisi “balimau” sebenarnya untuk mengeratkan tali silaturrahim. Kemudian, menyucikan diri sejalan dengan ajaran agama Islam. “Islam itu sangat suka kebersihan dan kebersihan itu sebagian dari iman,” kata Sayuti Datuk Rajo Pangulu.*