Hidayatullah.com — Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur, Abdul Ghofar Hadi, menyatakan kegiatan kerja bakti (gotong royong) merupakan mata kuliah dasar yang harus diikuti oleh semua mahasiswa di kampus yang dipimpinnya.
Sebab kebiasaan yang sudah menjadi tradisi di Pesantren Hidayatullah ini, lanjutnya, memiliki banyak hikmah. Terobosan STIS Hidayatullah ini bisa jadi adalah pertama dan baru satu-satunya kampus di dunia yang menerapkannya.
“Dengan hikmah-hikmah tersebut maka kerja bakti menjadi mata kuliah dasar yang wajib diikuti oleh seluruh santri. Hikmah-hikmah tersebut tidak didapat di bangku sekolah atau kuliah, tapi praktek di lapangan. Sehingga bagi mahasiswa yang tidak aktif dan sengaja menghindar dari kerja bakti akan mendapatkan sanksi akademik dan terkurangi hak-haknya,” kata Abdul Ghofar.
Abdul Ghofar menjelaskan, kerja bakti atau gotong-royong dalam istilah di masyarakat kekayaan bangsa Indonesia yang diwariskan nenek moyang.
Perkembangan zaman dan bergulirnya waktu menjadikan kerja bakti tergerus dengan hingar-bingar gemerlapnya hedonisme dan materialisme. Seorang Ketua RT, pak Lurah atau pak Camat, tutur dia, bisa dikatakan sudah mengalami kesulitan untuk menggerakan warganya turun lapangan kerja bakti.
Kalau pejabat tinggi yang menghimbau untuk gotong-royong bisa dipastikan banyak yang turut berpartisipasi, entah karena kesadaran, setor muka, asal bapak senang. Namun kerja bakti yang dirancang sifatnya formalitas dengan hasil kerja yang tidak tuntas, ujarnya.
“Salah satu budaya yang terbangun di Pesantren Hidayatullah Balikpapan dari dulu hingga terjaga sekarang adalah kerja bakti. Dari awal pendirian pesantren dibangun dengan semangat kebersamaan yaitu kerja bakti oleh para ustadz dan santri. Kegiatan kerja bakti mewarnai jadwal hidup setiap hari dari para santri dan jamaah,” jelasnya.
Abdul Ghofar mengutarakan tidak ada satu pun bangunan di pesantren yang berdiri tanpa hasil kerja bakti. Sehingga bangunan-bangunan yang berdiri dari perumahan, bangunan sekolah, asrama, mushola, masjid adalah hasil karya dari tangan-tangan santri.
Hikmah kerja bakti, lanjut pria murah senyum ini, pertama, menghemat biaya atau ongkos bangunan, jika bantuan 100 juta untuk satu bangunan maka bisa dijadikan dua bangunan. Ini seperti yang terjadi pada kegiatan mengecor masjid Ar Riyadh beberapa waktu lalu yang menurut perhitungan jika menggunakan perusahan profesional readymic itu memakan biaya 300 juta.
“Tapi kemarin dengan mengecor dengan tenaga manusia hanya 200 juta lebih sedikit,” bebernya.
Selain itu dengan kerja bakti akan memunculkan bakat-bakat ahli dalam bidang bangunan di kalangan santri. Sehingga kelak Selain mereka ahli menjadi dai dan mubaligh, mereka juga mahir menjadi tukang.
Hikmah lainnya, lanjut Abdul, selain karena tuntutan keadaan yang mengharuskan kerja bakti terus, kebiasaan ini akan menumbuhkan rasa kebersamaan, kesamaan pikiran, hati dan langkah sangat penting dalam membangun komunitas dengan tujuan mulia.
“Dalam kerja bakti tidak pandang usia, profesi, senior-yunior, semua berbaur menjadi satu untuk mengangkat semen, air, pasir dan kerikil. Tentu dalam tehnisnya porsi orang tua dan anak muda berbeda karena kekuatannya yang berbeda, tapi hadir dan berdirinya para ustadz senior di tempat kerja bakti sudah memberi dampak besar,” ujarnya mengakhiri.*