Hidayatullah.com–Penetrasi missionaris Kristen di Jawa cukup massif melalui pintu kebudayaan. Kajian ilmiah menemukan, ada dua macam strategi yang diterapkan para missionary; yaitu dengan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa dan pemakaian kebudayaan Jawa ke dalam praktik kekristenan.
Demikian salah penjelasan Arif Wibowo, peneliti Kristologi dan Budaya Jawa Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo dalam seminar yang diadakan nstitut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) di Masjid Unair Sabtu (19/01/2013).
Dalam seminar bertajuk “Missionarisme Kebudayaan: Penetrasi Katolik dalam Kebudayaan Jawa” ini, Arif menerangkan landasan strategi Kristenisasi Jawa telah dibangun oleh Franciscus Georgian Josephus Van Lith.
Pada tahun 1904, Van Lith membuka sekolah Guru bernama Kolose Xaverius di Muntilan. Van Lith kemudian mengadopsi unsur-unsur budaya Jawa ke dalam kekristenan dan memisahkan kebudayaan Jawa dari agama Islam.
Caranya, Van Lith melarang orang Jawa yang masuk Kristen mengikuti budaya Eropa. Tapi dianjurkan untuk meneruskan kebudayaan Jawanya. Tujuannya, untuk memberi kesan bahwa Jawa itu Kristen, bukan Islam.
“Padahal, sebelumnya Jawa sangat kental dengan tradisi budaya Islam. Buktinya tulisan pegon lebih dikenal daripada aksara Jawa,” ujar Arif.
Missionaris pada masa lalu membagi-bagikan Alkitab bertuliskan Arab pegon, tidak dengan huruf Jawa.
“Ini menunjukkan, orang Jawa dulu itu sangat kental budaya Islamnya, daripada budaya Hindu,” tambahnya.
Kenapa lantas kemudian yang terkesan, budaya Jawa itu khas Hindu-Budha?
“Karena umat Islam tidak serius menghadapi penetrasi missionaris Kristen itu,” ungkap pemerhati sejarah ini.
Padahal, tambah Arif, sesungguhnya Sunan Giri sudah jauh-jauh mengingatkan akan bahaya ‘kristenisasi’ melalui budaya ini.
Yang memubuat kalah lagi umat Islam dalam ‘pertarungan budaya’ itu adalah ahli-ahli sejarah Muslim kita sangat sedikit. Kalaupun ada kurang serius.
“Akibatnya, banyak sekali litelature-litelatur sejarah Jawa bertulisakan Arab pegon yang diambil orientalis-missionaris. Naskah otentik Walisongo sudah tidak ada. Karena diambil orientalis,” tegasnya.
Menurut Arif, seharusnya umat Islam lebih ofensif, jangan hanya defensif. Sebab, penetrasi kebudayaan mereka seratus persen, sedangkan kita setengah-setengah, ujarnya di hadapan mahasiswa Unair Surabaya.
Padahal dakwah Walisongo itu luar biasa berhasil karena strategi kebudayaannya sangat baik.
“Maka perlu kita buat pusat-pusat studi kebudayaan peradaban Islam dan Jawa di tiap-tiap daerah,” pungkasnya.*