Hidayatullah.com—Kajian politik Islam adala suatu kajian yang jarang dibahas banyak orang. Demikian disampaikan pakar hadist Dr Haji Daud Rasyid Sitorus MA dalam pengantar kajian kitab “Ahkamus Sulthaniyah” di Masjid Agung A Azhar, kemarin Ahad (16/06/2013) di Jakarta.
“Syeikh Yusuf Qaradhawi dalam mukaddimah bukunya ‘Min Fiqhid Daulah’ menyatakan bahwa kajian politik Islam paling jarang dibahas,” terangnya di depan ratusan peserta pengajian.
Menurut Daud Rasyid Kitab Ahkamus Sulthaniyah, menurutnya, dibahas oleh mahasiswa tingkat master dan PhD di Timur Tengah, jurusan Siyasah Syar’iyyah.
“Padahal dulu dia merupakan kajian yang tidak terpisahkan dengan Islam (Sunnah Nabi). Ada Bab Imarah (kepemimpinan) dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Bab itu isinya tentang cerita politik,” kata Doktor Hadits lulusan Al Azhar Kairo ini.
Menurutnya, bab kepemimpinan dalam literatur fikih Islam lebih banyak lagi. Eksplorasi al-Qur’an dan as Sunnah adalah fiqhus siyasi.
“Mungkin karena negeri Muslim umumnya berkiblat ke Barat dan Barat sangat berkepentingan mengebiri politik Islam, maka negeri-negeri Muslim menjadi resisten terhadap kajian politik Islam. Apalagi yang namanya masjid. Maka alhamdulillah Kiai Kholil Ridwan berhasil mengadakan kajian yang sangat ditunggu-tunggu umat,”paparnya.
Ia berharap, kajian politik lintas harakah dan partai ini bisa untuk pembinaan umat tentang siyasah Islamiyah (politik Islam) dan waqi’us siyasi islami (fakta-fakta politik Islam yang ada).
“Jadi untuk mengedukasi umat tentang teori politik Islam dan kenyataan politik umat. Rujukannya adalah Ahkaamus Sulthaniyah karya Imam Mawardi (bermazhab Imam Syafii),”terangnya lebih lanjut.
Sebagaimana diketahui, Imam Mawardi ini wafat pada 450 H, jadi sudah abad yang silam usia buku ini.
“Ini menunjukkan kekayaan teori politik islam. Umat lebih dulu mengembangkan teori politik ketimbang dunia Barat yg menjadi contoh saat ini.”
Dr Daud Rasyid selanjutnya menerjemahkan satu per satu kalimat dalam kitab itu mulai dari awal. Di mana Imam Mawardi menjelaskan bahwa Allah telah menerangi kepada kita agama Islam ini dan memberikan kepada kitab menjadi penerang. Selain itu dijadikannya hukum halal haram, sehingga menjadi hukum di dunia ini untuk memantapkan kemaslahatan manusia.
“Memberikan kaidah kebenaran dan memberikan kepada umat pemimpin yang memberikan ketentuan yang paling bagus dan pengaturan yang paling bijak, yaitu Nabi Muhammad saw,”papar Dosen Uinisba Bandung ini. Dalam penutupnya ia menegaskan bahwa Islam adalah din wa daulah (agama dan Negara).
Dominasi Sekularisme
Sedangkan Prof Din Syamsuddin dalam sambutannya menyatakan bahwa masalah utama umat Islam di global dunia dan di Indonesia adalah dalam bidang politik.
“Yaitu adanya kesenjangan adanya cita-cita ideal politik dan realitas kehidupan umat Islam. Di mana umat Islam di dunia ini yang jumlahnya 1,6 milyar dan di Indonesia 88,2%, 207 juta Muslim belum menjadi determinan (penentu) politik Indonesia. Ind,”terangnya.
Karena begitu pentingnya kajian ini, Ketua PP Muhammadiyah ini mengharapkan kajian ini berumur seumur jagung dan berhenti usai Pemilu 2014.
Sementara itu Ketua Partai Bulan Bintang, Dr. MS Kaban menyatakan bahwa sejak dunia Islam didominasi kekuatan sekuler, maka pemahaman agama dengan negara dipisahkan sangat kuat sampai dengan hari ini. “Kita umat mayoritas tetapi umat tidak memiliki peran-peran yang signifikan dalam kehidupan dan bernegara. Saya merasakan hal itu (ketika menjadi menteri dan lain-lain),”terangnya.
Dosen UIKA Bogor ini menjelaskan bahwa peran ulama dan tokoh-tokoh Islam dulu membangun Islam dalam format Indonesia, banyak generasi muda yang belum membacanya. Karena itu ia mengharapkan, pengajian politik Islam ini jangan berhenti di tengah jalan.
“Di Bogor ada pengajian tafsir Ahad Subuh yang diasuh oleh Kiyai Didin Hafidhuddin berlangsung hampir 20 tahun hingga kini,” paparnya.
Dr Kaban juga menjelaskan bahwa Islam di negeri ini sudah diperjuangkan para pendahulu tokoh-tokoh kita sejak awal. Misalnya pernah diperjuangkan presiden itu adalah orang indonesia asli dan Islam. Perjuangan Piagam Jakarta, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan seterusnya.
“Saat ini minoritas menguasai 87% sumber daya ekonomi kita. Padahal mereka jumlahnya cuma 3% dari penduduk negara kita. Itu yangg sedang terjadi. Dulu hanya VOC (Serikat Dagang Belanda), mereka bisa menanamkan pengaruhnya sampai 350 tahun. Sekarang ini 141 Undang-Undang udah dibuat untuk kepentingan yang menguasai di seluruh bidang itu (ekonomi), yang jumlahnya hanya 3 persen itu,” tegas mantan Menteri Kehutanan ini.*
Dalam kesempatan yang sama, Dr Fuad Amsyari menjelaskan bahwa karena tidak faham Islam Politik (atau politik Islam), maka umat memiih pemimpin salah.
“Begitu menjadi pemimpin, membuat kebijakan salah. Menjadi ketua partai politik salah. Karena tidak banyak disentuh Islam politik. Di masa represif (dulu) pengajian seperti ini dilarang,”tegas cendekiawan yang vokal dari Surabaya ini.
Ia mengharapkan ulama jangan lari dari politik.
“Islam politik mengajarkan satu yang kongkrit. Dua sisi yang harus dpahami. Pertama adalah memobilisasi umat Islam supaya memegang kekuasaan. Bagaimana Islam berkuasa di negeri dimana mereka tinggal. Jangan memilih pemimpin yang tidak mengerti agama. Menjadikan negeri ini memilih pemimpin yg Islam. Pengajian ini tidak mengarahkan ke parta sekuler, partai yang tidak berminat untuk menerapkan syariat islam. Haram dan jangan memilih partai yang tidak berminat pada syariat. Karena islam itu kaffah,” tegasnya.
Dr Fuad mengharapkan umat memilih presiden, menteri, dirjen menurut ukuran Islam. Ia menyesalkan pakaian Polwan yang tidak Islami.
“Kalau di Prancis wajarlah (melarang jilbab). Sekarang ini hukum non Islam dipaksakan untuk umat Islam,”tegasnya.
Ia menegaskan bahwa kebijakan ekonomi, pendidikan, hukum, hankam, budaya dan lain-lain mesti kebijakan Islami.
Pengajian politik Islam perdana ini cukup sukses. Ratusan peserta lintas ormas dan partai, serta tokoh-tokoh Islam hadir. Sayangnya dalam pertemuan itu, Dr Hidayat Nur Wahid, Suryadarma Ali dan Hatta Radjasa tidak jadi hadir meski sebelumnya sudah memberikan konfirmasi. Dua minggu lagi (30 Juni) yang akan memberikan materi diantaranya KH Makruf Amin, di samping penceramah tetap Dr Daud Rasyid.*/nuim