Hidayatullah.com–Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemerintah menjadikan industri minuman keras yang sebelumnya masuk daftar negatif investasi, menjadi keluar dari daftar tersebut.
Dengan dicabutnya dari daftar negatif, maka investor akan berlomba-lomba membangun pabrik minuman keras.
“Minuman keras jelas-jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya,” katanya.
Pendirian pabrik baru atau perluasan yang sudah ada, akan mendorong para pengusaha mencari konsumen minuman beralkohol yang diproduksinya demi meraih keuntungan, sementara di sisi lain, masyarakat akan dirugikan.
Ia juga tidak sepakat, produksi minuman beralkohol ini untuk tujuan ekspor atau untuk memenuhi konsumsi di wilayah Indonesia Timur yang permintaanya tinggi.
“Seharusnya, kebijakan pemerintah bagaimana konsumsi minuman beralkohol ditekan untuk kebaikan masyarakat, bukan malah didorong untuk naik,” tandasnya, sebagaimana diberitakan laman NU, Selasa (23/07/2013).
Ia mengibaratkan, alasan pendirian pabrik baru untuk memenuhi konsumsi ekspor dan Indonesia Timur, seperti yang dilakukan para petani opium di Afghanistan.
“Mereka mengaku tidak mengkonsumsi opium, tapi hanya untuk orang luar. Kan seperti itu,” paparnya.
Sebelumnya, sebagaimana dilansir ipotnews.com, Menteri Perindustrian MS Hidayat seusai melakukan rakor tentang fiskal, pajak, infrastruktur, dan tenaga kerja di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat (19/7), menyatakan, Timnas Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (PEPI) di bawah Kemenko Perekonomian tengah merevisi Perpres No 36/2010 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Revisi DNI (Daftar Negatif Investasi) itu merupakan upaya pemerintah untuk memperbarui kebijakan terkait investasi dengan menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan investasi. Revisi tersebut dilakukan secara berkala karena tidak mungkin keputusan dari aturan sejak 10 tahun yang lalu tetap diberlakukan.
“(Revisi DNI) Ya policy mengenai alkohol. Itu kalau diinsentifkan di Indonesia Timur kan tidak apa-apa. Semacam begitulah kira-kira. Dan itu karena demandnya tinggi. Kalau misalnya wine dibuat di Bali, lalu diekspor 100%, why not?” kata Hidayat.
Dia menyatakan, apakah nantinya revisi DNI di sektor minuman beralkohol tersebut berlaku untuk industri yang melakukan perluasan atau bagi investasi baru, hal itu masih dibahas lebih lanjut. Termasuk, rencana mendorong dilakukan di Indonesia Timur karena dinilai sebagai wilayah yang cocok untuk produk tersebut.
“Nanti akan dibuat definisi baru mengenai itu (bagi industri alkohol yang ekspansi atau investasi baru). Kan kalau sekarang hanya boleh perluasan, saya mengusulkan boleh saja (investasi) yang baru, apalagi kalau 100% ekspor,” jelasnya.
Selain sektor industri alkohol, menurutnya, ada beberapa industri strategis lainnya yang masuk dalam revisi DNI ini. Namun sayangnya dia enggan menyebutkan sektor industri apa saja selain industri minuman beralkohol yang ada dibuka dalam revisi tersebut.
“Jangan dulu (disebutkan) karena itu menyangkut PMA, ya pokoknya industri strategis. Alkohol itu strategis dan sensitif. Mungkin (akan dibuka lagi) beberapa industri strategis yang memang dianggap sudah bisa masuk kategori dimasuki swasta,” ucapnya.
Dia menambahkan, untuk sektor nuklir sempat dibicarakan sebagai sebuah wacana, bahwa salah satu sumber yang ramah lingkungan dan murah. Akan tetapi hal itu baru pada tingkat membicarakan, kemungkinan untuk dilonggarkan dalam revisi DNI karena sektor ini merupakan keputusan politik.
“Keputusan mengenai nuklir itu 100% keputusan politik, kapan dimulainya dan sebagainya,” tandas Hidayat.*