Hidayatullah.com–Muhasabah ternyata ada ilmunya. Menyandarkannya pada ilmu, menjadikan proses refleksi tidak melulu mengedepankan uraian air mata. Demikian Dr. Muhammad Mahmud Sulaiman Al A’juuz memaparkan motode muhasabah ungkapnya di depan jamaah Majelis Dhuha, Kajian Spesial Akhir Tahun, AQL Islamic Center (AQLIC), Ahad (29/12/2013).
Menurut pengajar ilmu Hadits di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jakarta, ada tahapan yang perlu diperhatikan dalam bermuhasabah.
Pria yang akrab dipanggil Syeikh ‘Ajuuz itu berusaha memberikan sudut pandang berbeda dalam bermuhasabah. Muhasabah berasal dari kata hasaba-yuhasibu, yaitu menghitung. Sedangkan secara bahasa mengandung makna menghidupkan hati.
Tahapan pertama, apakah pernah terjadi pelanggaran syariat atau tidak. Shalat lima waktu dan ketauhidan merupakan hal pokok yang menjadi perhatian. Selanjutnya, perlu dikoreksi, apakah ada yang kurang dari shalat sunnah kita. Sudah khusuk atau belum?
“Seandainya pernah melakukan maksiat, segera lakukan tobat sebagai penggantinya. Beristighfar terus. Kemudian melakukan amal kebaikan sebagai pengganti tindakan buruk,“ ungkapnya.
Muhasabah terhadap raga menjadi pekerjaan berikutnya. Seluruh panca indera menjadi lokasi yang perlu dicermati satu persatu. Apakah ada kata-kata kotor yang terucap? Kemudian, kemana saja kedua kaki selama ini dilangkahkan? Lalu, kedua tangan, digunakan sebagai alat kebaikan atau keburukan? Serta, untuk melihat apa saja mata ini?
Ahmad Fauzan, anggota Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), AQLIC, mengakui paparan Syeikh memberikan sudut pandang baru dalam memaknai muhasabah.
“Muhasabahnya tidak langsung mengajak jamaah menangis. Tapi pakai pengantar tentang ilmu muhasabah,”tutur Alumni LIPIA itu.
Fauzan menambahkan, kelembutan Syeikh diharapkan memudahkan jamaah melewati setiap tahapan. Dari sana akan diperoleh pengertian bahwa ibadah tidak hanya ritual tapi merupakan bukti dari rasa takut terhadap Allah subhana wata’ala.
Tak lupa, dalam pertemuan pagi itu, pria asal Mesir itu menyelipkan sebuah kisah seorang lelaki shalih. Ashimah, namanya. Ia mencoba bermuhasabah dengan menghitung usianya, 60 tahun.
Ada suatu patokan, jika satu hari saja terdapat sepuluh ribu dosa, lalu berapa juta dosa yang sudah tertimbun hingga hari ini? Berburuk sangka terhadap usia, memudahkan melihat dosa bagaikan buih di lautan.
“Karena itu Ia terus memperbaiki diri,”ucap Syeikh Ajuz.
Pada akhirnya, air mata akan tumpah ruah setelah kebersihan hati tercapai. Keikhlasan menjalani hidup sesuai tuntunan Allah, melembutkan hati.*