Hidayatullah.com– Tokoh hak azasi manusia Dr Saharuddin Daming, menilai sikap dan pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, menunjukkan BNPT telah nyata bertindak arogan dan melegalkan hukum rimba.
“Saya termasuk orang yang sudah bosan membicarakan soal BNPT dan Densus 88. Karena apapun yang disampaikan, kebenaran itu sepertinya menjadi sesuatu yang dimonopoli oleh mereka,” kata Daming kepada hidayatullah.com, Senin, (06/01/2014).
Ia menegaskan, atas arogansi dan klaim sepihak itu, negara bahkan tidak memberi ruang bagi pihak manapun untuk mengungkit kekejaman aparat karena merasa dilegitimasi Undang-undang.
Sekarang, kata Daming, yang benar di dunia ini hanya Densus 88 dan BNPT mengenai soal apa yang kita sebut sebut sebagai “teroris”.
“Jadi hukum mana yang mau kita tegakkan. Bukankah pemikiran yang dikembangkan BNPT maupun Densus 88 sudah menggunakan hukum rimba,” katanya prihatin.
Daming mendesak Polri sebagai penegak hukum untuk berlaku adil. Kalau Ansyaad menginginkan media tidak perlu ragu menyebut kata “teroris” tanpa embel-embel “terduga”, maka harus juga dilakukan hal serupa pada korupsi.
“Kenapa Polri hanya mampu menemukan dan melakukan eksekusi tanpa ampun kepada mereka yang dituduh “teroris”, bahkan sampai ke lubang tikus pun bisa ketemu. Tapi kalau korupsi, boro-boro mencari ke lubang tikus. Di dapur sendiri, di dalam Polri sendiri, tidak ada yang bisa dieksekusi,” ungkapnya.
“Selama ini kalau Polri menangani tindak pidana korupsi cenderung itu low profile dan sangat berhati hati. Lebih lebih kalau pelakunya di internal Polri sendiri, yang ada itu over protective. Lihat saja kasus Joko Susilo akan diambil alih oleh KPK. Siapa yang bersikeras mempertahankannya,” tandas Daming.
Sebelumnya, Jumat pekan lalu di hadapan wartawan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai, menyatakan ketidak-sukaaan kebiasaan media massa dalam menulis tentang kasus terorisme.
Ansyaad kala itu memprotes penulisan status orang yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme dengan sebutan “terduga”. Seharusnya menurut dia, tidak perlu ragu-ragu menulis “teroris”, tanpa perlu embel-embel “terduga”.
“Mulai sekarang jangan kita munafik, jangan ragu-ragu. Kalau penyakitnya kurap ya kurap. Kalau kanker ya kanker. Teroris dibilang terduga teroris. Kenapa terduga?” kata Ansyaad kepada wartawan di kawasan Menteng, Jakarta.
Ansyaad meminta media untuk tidak menggunakan kata-kata kiasan.
“Nanti maling ayam menuntut kalian, kenapa saya nggak dibilang terduga maling ayam? Koruptor dibilang koruptor, bukan terduga koruptor. Ya, kenapa teroris pakai terduga,” ujarnya pada media massa.
Ansyaad juga menyampaikan protes terkait sikap media terhadap pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir.
Menurutnya, Ba’asyir adalah provokator dari gerakan terorisme di Indonesia. Dia menilai media sering tidak berani menulis yang sesungguhnya tentang tokoh tersebut.
“Kalian menyebut nama penjahat saja nggak berani. Pakai kias-kiasan,” ucapnya dikutip laman Vivanews.*