Hidayatullah.com— Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat dan mengaji. Lebih dari itu, jika merujuk terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, masjid juga menjadi pusaran kegiatan politik.
“Partai Politik Islam, rapat kok di hotel berbintang. Punya Yahudi lagi. Yang kaya, ya dia juga,” demikian kritik Kiai Cholil terhadap beberapa partai Islam yang lebih suka rapat di hotel dibanding rapat di masjid.
Pada pidato penutupan Pengajian Politik Islam (PPI) yang diselenggarakan di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Pada Ahad, 12 Januari 2014 Cholil mengatakan, sulit bagi parpol Islam mencapai keberkahan jika tempat rapatnya saja sama-sama bisa diakses oleh para pelaku kemaksiatan dan para penjudi.
“Kalau sekarang Partai Islam terpuruk, wajar itu. Karena mereka menjauh dari masjid dan merapat ke tempat-tempat maksiat,” ucap Cholil tandas.
Lebih jauh, ia menghimbau umat Islam untuk terus memakmurkan masjid.
“Masjid Nabi itu sederhana bentuknya, tapi mewah kegiatannya. Tapi yang terjadi saat ini, kebalikannya. Bangunan mewah, tapi kegiatannya sedikit,” tuturnya prihatin.
Kesederhanan itu digambarkan Cholil dengan menyebutkan lantai masjid Rasulullah hanya beralaskan pasir. Tiang-tiangnya dari batang pohon kurma yang tidak diserut. Sedangkan atapnya dari daun pohon kurma yang tidak dianyam.
Meski demikian, masjid di zaman itu menjadi tempat penampungan korban perang Khandaq. Dus, berfungsi sebagai persinggahan gelandangan. Ada ruangan khusus bagi mereka.
Jika pada masa kini masjid kembali semarak, maka rapat partai politik (parpol) Islam seharusnya tidak perlu di hotel berbintang.
Pendiri PPI itu berharap, Masjid Agung Al Azhar bisa menjadi pelopor. Hal itu sudah dirintis dengan mengundang berbagai tokoh politik Islam nasional yang dilaksanakan PPI sejak Juni 2013.
Jika kesadaran berpolitik masyarakat meningkat, tidak menutup kemungkinan sidang parpol Islam digelar seusai shalat berjamaah.*