Hidayatullah.com–Adam Amrullah, mantan anggota Islam Jamaah/Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), mengatakan, salah satu alasan ia melakukan mengadukan LDII ke Kejaksaan Agung, Senin 10 Februari 2014, karena ia berharap bisa membongkar penyimpangan yang menurutnya sudah berlangsung sejak Imam organisasi itu Nurhasan Ubaidah sampai Imam saat ini yaitu Abdul Aziz Sulthon Aulia bin Nurhasan.
Ia juga mengatakan, pengaduannya juga ditembuskan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Sekjen Forum Ruju’ Ilal Haq (FRIH) ini, berdasarkan pengakuan teman-temannya yang pernah menangani bidang keuangan kelompok yang pernah dinyatakan sebagai aliran sesat oleh MUI tahun 1971, metode pengumpulan dana jamaah, dilakukan secara tradisional.
Setiap pekannya, seusai pengajian, mereka diminta menyisihkan minimal 10 persen dari penghasilannya. Jumlah tersebut, kata Adam, adalah prosentase minimal. Sumbangan sampai 25 persen dari penghasilan/bulan menjadi lumrah di antara mereka.
“Kalau satu orang saja Rp. 10 ribu dengan jumlah jamaah mencapai 2 juta orang, bisa dibayangkan berapa milyar terkumpul dalam sebulan?” ulasnya.
Tidak sedikit jamaah dengan profesi sebagai pengusaha, tak segan-segan merogoh kocek sampai jutaan Rupiah demi khidmat mereka pada sang Imam. Tak heran jumlah spektakuler, Rp. 20 Milyar dengan mudah terkumpul.
Melalui pengumpulan pengajian tingkat RT/RW, uang didistribusikan pada tingkatan lebih atas, yakni tingkat kelurahan. Secara bertahap uang akan dikumpulkan sampai tingkat provinsi dan pusat. Di level akar rumput, uang logam dan kertas lusuh banyak ditemukan. Namun, sampai di level tertentu, uang tersebut diikat dengan karet sesuai pecahan tersendiri. Lokasi pengumpulan uang ada di dua tempat.
“Untuk wilayah Indonesia Barat, pengumpulan terpusat di Pondok Gede, Bekasi, dekat dengan Lubang Buaya. Sedangkan untuk wilayah Indonesia Timur, akan dikumpulkan di Pondok Pesantren (Ponpes) mereka di Kediri,”demikian Adam membeberkan mekanisme pengumpulan uang organisasi LDII.
Menurutnya, pengelolaan uang selama puluhan tahun itu tersimpan begitu rapi. Supaya tidak terdeteksi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ia juga menilai, kelompok ini meminimalisir penggunaan rekening Bank sebagai sarana transaksi. Mulai dari unit pengajian terkecil sampai ke tahapan tertentu, uang dikumpulkan dengan kantong-kantong kain, dari tangan ke tangan.
Ada saatnya, dana umat dititipkan pada rekening seorang pengusaha sebelum akhirnya ditransfer ke rekening jamaah lainnya yang menetap di Kediri.
Setelah dicairkan, uang akan dibawa menggunakan mobil menuju Ponpes mereka. Penghitungan uang secara terpusat dilakukan di sana sebelum dipindahkan ke sebuah rumah yang dijadikan lumbung uang. Namun, penghitungan tersebut tidak bisa menunjukkan nominal dengan presisi akurat karena tidak tercatat secara komputerisasi.
Menurut Adam, kelompok ini berusaha mandiri secara finansial. Seluruh kegiatan Ponpes dibiayai oleh dana umat. Mereka juga berinvestasi dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), perusahaan travel umroh, pom bensin, kebun teh, toko sembako, dan pendirian lembaga pendidikan.
Peran KPK sangat penting dalam mengusut aliran dana kelompok ini karena banyak terjadi penyelewengan dana umat.
“Imam dan keluarganya, makan dan hidup juga dari uang umat ini,”imbuh Adam.
Kokohnya pergerakan Islam Jamaah/ LDII ternyata didukung pendanaan mandiri jamaahnya yang begitu besar.*