Hidayatullah.com–Persatuan seluruh Organisasi Massa (Ormas) Islam di Indonesia akan menghimpun kekuatan besar. Hal itu memungkinkan peranan umat dalam pemerintahan berikutnya pada 2019.
Demikian penyataan Bachtiar Nasir, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menanggapi seorang penanya tentang sikap umat Islam dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 saat mengisi Kajian Tafsir Al Azhar, hari Ahad, (16/02/2014).
Selain menghimbau umat Islam bersatu, dalam kajian itu ia juga mengajak umat Islam untuk serius mempelajari ilmu agama.
Ketertarikan pada kajian ilmu harus dibarengi aksi nyata agar tidak menjadi umat yang pasif saja.
“Kalau cuma Jiping atau ngaji kuping (cuma mendengar, red) saja, hanya berguna bagi diri sendiri. Setelah ikut majelis ilmu, pulang. Ilmu hanya untuk konsumsi pribadi,”tuturnya di hadapan jamaah.
Merangseknya pengaruh liberalisme ke segala lini masyarakat, lahan dakwah bagi orang berilmu.
Jika generasi mudah tidak memiliki bekal ilmu, yang datang padanya adalah tawaran lain berupa paham-paham yang merusak.
Ia mencontohkan dalam sebuah konferensi HAM internasional, justru juru bicaranya adalah orang yang memiliki paham liberal, yang justru memprosikan nilai-nilai yang rusak.
“Ternyata yang menjadi juru bicara HAM di sebuah konferensi internasional adalah orang liberal. Dia mengatakan, sudah ada Jogja Principles tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender) yang dihadiri LSM-LSM internasional. Dan lebih gila-nya, acara itu mengatasnamakan kesepakatan Indonesia,” ucapnya yang mengaku prihatin adanya “Yogyakarta Principles”.
Sebagaimana diketahui, upaya-upaya kaum LGBT memperoleh pengakuan secara internasional, akhir tahun 2006, tepatnya 6 sampai dengan 9 Nopember 2006, 29 orang ahli hukum HAM Internasional berkumpul di Kota Yogyakarta untuk merumuskan sekumpulan prinsip yang patut dipatuhi oleh suatu Negara terkait dengan orientasi seksual dan LGBT. Sekumpulan prinsip itu, tepatnya ada 29 prinsip kemudian dinamakan “Yogyakarta Principles”.
Meski pertemuan itu bukanlah perwakilan resmi dari masing-masing Negara, namun ”Yogyakarta Principles” dinilai dapat menjadi acuan hukum mengenai HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender yang sudah digunakan di beberapa negara.
Atas segala kondisi itu, Bachtiar mengaku sangat menyayangkan jika anak ada anak muda Indonesia tidak bergerak.
Pendiri Arrahman Quranic Learning Islamic Center (AQL) ini menambahkan, dibutuhkan sosok mahasiswa yang memiliki perspektif HAM sesuai syariat Islam.
Bachtiar menyadari, konsistensi menyuarakan aspirasi umat bukan pekerjaan yang mudah. Tapi jika seluruh Ormas bahu-membahu, pekerjaan besar akhirnya akan terasa ringan.
Lebih lanjut, lulusan Universitas Islam Madinah ini merujuk pada Buya Hamka, Ketua MUI pertama.
“Apa yang beliau tulis adalah yang beliau lakukan dan beliau tinggalkan betul keduniaan kalau sudah bertentangan dengan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” (Hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan al-Quran), jelas pengagum berat penulis tafsir Al Azhar itu.*