Hidayatullah.com–Banyaknya orang yang tidak paham hakikat jumlah rakaat yang disyariatkan agama dalam shalat tarawih bisa memecah-belah berbedaan antar umat Islam.
Demikian penjelasan Pimpinan Majelis Zikir dan Shalawat Zikra al-hasani LPI MUDI Masjid Raya samalanga, Tgk. H Sulaiman Hasan menerangkan mengenai jumlah rakaat shalat tarawih
“Perbedaan pendapat diantara ulama merupakan rahmat. Sedangkan pendapat yang terjadi di luar pendapat para mujtahid disebut ikhtilaf,” demikian disampaikannya Rabu, (25/05/2014) pada acara “Gema Shalawat menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan 1435 Hijriyah” di Dayah Darul Barakah Gampong Geumpung, Kecamatan Mutiara Timur, Aceh Pidie.
Dalam acara yang pembacaan shalawat, zikir, do’a dan tausiah ini, Tgk. Pante, sapaan akrab Tgk. H Sulaiman Hasan menjelaskan tidak adanya perbedaan pendapat antara 20 dan 8 rakaat dalam shalat tarawih.
Menurutnya, perbedaan pendapat dalam memilih diantara banyaknya pendapat ulama yang dihasilkan dari ijtihad mujtahid disebut khilaf. Dan ini sesuai denga hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Alumni Zabid Yaman dan guru senior Dayah MUDI Samalanga ini melanjutkan, mengikuti sunnah para shahabat Nabi adalah bahagian dari sunnah Nabi itu sendiri, karena rasul sendiri yang memerintahkan untuk mengikuti sunnah para Khulafaurrasyidin.
Oleh karena itu seandainya syariat shalat tarawih 20 merupakan sunnah Sayidina Umar bin ‘Affan sama halnya dengan mengikuti syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Mengutip kitab Al-Mu’jamu Ash-Shagir hal 108, ia menjelaskan bagaimana sebahagian orang berpendapat bahwa shalat tarawih 8 rakaat dengan alasan hadis riwayat Jabir yang artinya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami”. Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku khawatir kalau (akhirnya) shalat itu menjadi wajib atas dirimu” Pertama sekali nas qur’an maupun hadis bukanlah sumber hukum untuk para mukallad. Tetapi yang menjadi sumber hukum untuk para mukallad adalah nash para mujtahid. Kedua dalam hadis ini para ulama tidak menjadikan dalil sebagai jumlah rakaatnya, tetapi tadi sebagai dalil sunatnya berjamaah.
Ikhtilaf suatu perkara yang menyangkut syariat, menurutnya, mesti diluruskan. Dan kebenarannya mesti diungkap demi kemurnian agama. Propaganda yang diusung orientalis Barat untuk saling menghargai perbedaan pandangan dan teloransi serta jangan mempersoalkan perkara khilaf (hal yang ikhtilaf, red) adalah racun yang sangat berbahaya dan berbisa,” imbuhnya.*/Da’u Nii (Aceh)