Hidayatullah.com– Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Pasal Kesusilaan nomor perkara 46 PUU-XIV 2016 tentang perluasan makna dalam pasal 284 (perzinaan), pasal 285 (pemerkosaan), dan pasal 292 (pencabulan) dalam KUHP.
Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan MUI, Buya Basri Bermanda menyatakan, putusan MK tersebut berdampak pada semakin rentannya masyarakat terhadap kejahatan kesusilaan.
Termasuk mendorong berkembangnya seks bebas tanpa ikatan perkawinan yang sah, hubungan seks yang tidak memenuhi unsur dalam pasal perzinaan yang diatur dalam KUHP, pemerkosaan yang tidak memenuhi unsur pidana dan pencabulan yang tidak memenuhi unsur pidana dalam KUHP.
“Demikian pula putusan MK tersebut membiarkan terjadi dan berkembangnya perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT),” ujarnya di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Rabu (17/01/2018).
Selain itu, MUI, terang Basri, menilai putusan itu mendorong berkembangnya pemikiran dan budaya hidup sebagian manusia Indonesia yang sekuler, liberal, dan jauh dari nilai-nilai agama dan kesusilaan.
Dimana hal tersebut, jelasnya, tentu tidak sesuai dengan jati diri bangsa yang mendasarkan hidupnya pada Pancasila, dimana sila pertama dan kedua adalah Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Atas dasar itu, dengan mengacu kepada Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, MUI mendorong DPR dan presiden memasukkan unsur pelaku kejahatan tidak dibatasi kepada kategori orang-orang tertentu saja, dalam merumuskan pasal-pasal kesusilaan pada pembahasan RUU KUHP yang saat ini telah berlangsung di DPR.
“MUI mendukung sepenuhnya dan siap berpartisipasi memberikan masukan dan saran, dalam ikhtiar bangsa membentuk UU KUHP baru yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila untuk menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda yang sudah berusia ratusan tahun dan tidak sesuai dengan falsafah dan ideologi bangsa,” tandasnya.*