Hidayatullah.com–Ada banyak efek negatif ketika Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) berhasil disahkan. Beberapa diantaranya, mengubah fungsi keluarga.
“Bisa-bisa ibu-ibu kita masuk penjara ketika mengajarkan anaknya memasak karena itu artinya bagian dari pelayanan terhadap suaminya. Bisa-bisa para pengantin muslimah masuk penjara karena mau menerima mahar,” demiian Nurul Hidayati, Ketua Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimah (Salimah) dalam Training for Trainers (TFT) Tingkat Lanjutan I di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta yang diselenggarakan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, di Jakarta belum lama ini.
Menurutnya, jika RUU KKG disahkan, pola kepemimpinan akan berubah. Perempuan akan menjadi pengendali dan dia merasa berhak menolak melaksanakan kewajibannya sebagai isteri jika tidak suka.
Karena itu dibutuhkan kebijakan publik yang bisa melindungi keutuhan keluarga.
Nurul meminta masyarakat berani bersuara dan menyatakan penolakan RUU KKG karena sama sekali tidak ada manfaatnya.
“Sekarang, berani nggak kita menyatakan pada para pemangku kebijakan bahwa RUU KKG ini tidak kita butuhkan? Berani nggak kita menaruh persoalan diatas meja dan mendiskusikannya dengan penguasa?”tanyanya.
Menurutnya, hanya mendiamkannya dan berharap bisa selesai seiring berjalannya waktu, tidak akan menghasilkan jalan keluar.
Nurul mencontohkan sikap proaktif yang dilakukan Diah Nurwitasari, anggota Komisi C DPRD Provinsi Jawa Barat.
Demi menjelaskan pengaruh ketahanan keluarga terhadap pembangunan, Ia berani mengundang 10 Kepala Dinas ke rumahnya.
Tidak hanya itu, Diah, dikatakan Nurul, banyak menemui tokoh-tokoh Jawa Barat untuk menyuarakan aspirasnya, termasuk bahaya pengesahan RUU KKG. Ia menghadapi pertentangan cukup besar yang dilancarkan kaum feminis di sana. Tapi, tenang saja Ia menghadapinya.
“Jika Anda meyakini apa yang Anda yakini, saya juga meyakini apa yang saya yakini. Ini alam demokrasi. Berbeda itu fine,”kata Nurul menirukan ucapan lulusan Teknik Aeronautika, Jerman itu.
Rupanya usahanya membuahkan hasil. Raperda Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga, berhasil disahkan tahun 2013 lalu oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Bahkan salah satu program Perda tersebut menghasilkan “1000 kader Motivator Ketahanan Keluarga” (Moteka) dari banyak RT di Jawa Barat.
“Malahan ada yang langsung mengusulkan untuk mengkader 10 ribu Moteka. Tapi, percobaan awalnya dengan 1000 kader terlebih dahulu,”ungkap Nurul.
Itulah hasil dari keberanian berbicara.
Nurul memotivasi para aktivis untuk tidak henti-hentinya berusaha dan bergerak. Hal inilah yang telah dilakukan para feminis yang tak hentinya memperjuangkan The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sejak tahun 1979.*