Hidayatullah.com–Direktur The Center of Gender Studies (CGS), Dr. Dinar Dewi Kania, mengatakan, penolakan berbagai organisasi massa (ormas) Islam terhadap Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG), dinilai suatu kewajaran. Bahkan, itu merupakan usaha yang harus ditempuh. Jika tidak, revolusi seksual, akan terjadi.
Revolusi seksual ini merupakan dampak terburuk ketika definisi “gender” tidak sesuai dengan kondisi biologis, laki-laki dan perempuan. Dinar menambahkan, konsekuensinya akan memunculkan jenis kelamin baru seperti lesbian dan gay. Pada akhirnya, pernikahan sejenis akan mendapat legalitasnya.
“Bisa saja tetap menggunakan kata gender, jika sudah terlanjur. Tapi, gender harus dimaknai sebagai konstruksi sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai agama dan jenis kelamin biologis. Itu masih bisa diterima,” terang Dosen Universitas Trisakti ini kepada hidayatullah.com.
Di Amerika, menurut Dinar, kesetaraan gender sebagai turunan dari gerakan feminis melalui The Convention on the Elimination of All Forms Against Women (CEDAW), dianggap merusak nilai-nilai keluarga.
Atas desakan para senator, sampai hari ini CEDAW belum diratifikasi. Tapi, para feminis tidak tinggal diam. Usaha mereka juga melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di Indonesia.
Para anggota parlemen yang menyetujui pengesahannya, perlu mencermati hal ini. Dinar mensinyalir, bisa jadi, mereka tidak menyadari bahaya pengesahan RUU KKG.
Ia mengingatkan, perubahan radikal mungkin tidak akan langsung terlihat paska disahkannya RUU ini. Pengaruhnya dilakukan bertahap. Mulai dari penggugatan hukum kewarisan, perkawinan sampai akhirnya legalitas pernikahan sesama jenis. Pada akhirnya, perjuangan para feminis ini juga merupakan perjuangan kaum lesbian.
“Terima satu, dia naikkan yang lain. Sekarang kita lihat, berapa banyak negara di Eropa yang sudah melegalisasi pernikahan sejenis?” ujarnya mewanti-wanti.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menyikapi praktek diskriminasi dan eksploitasi pada perempuan, tambah Dinar, bisa dengan cara memberi keadilan sesuai dengan norma-norma yang ada di Indonesia. Bukan justru malah memasukkan nilai-nilai barat-liberal.
“Kenapa mereka ngotot dengan kesetaraan gender? Karena gender ini yang akan diamini oleh masyarakat kita. Dan itu menjadi tolok ukur segala peraturan dan juga ilmu lainnya seperti sosiologi, psikologi dan lainnya,” tukasnya.*
Dinar mensinyalir, anggota DPR yang menyetujui RUU KKG bisa jadi tidak menyadari bahaya sesungguhnya jiika RUU ini disahkan