Hidayatullah.com— Penerapan Qanun Jinayah di Aceh, berupa sanksi hukum bagi para pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh akan segera diberlakukan.
Qanun Jinayat (Pidana) sebagai bagian dari pemberlakukan Syariat Islam di Aceh, rencananya akan disahkanpada hari Jumat, 26 September 2014 . Awalnya jadwal pengerahan dilakukan hari Senin, 22 September 2014 namun tertunda.
Qanun Jinayat mengatur tentang hukuman bagi pelanggar syariat Islam dan termasuk juga berlaku bagi non-Muslim.
Qanun Jinayat mengatur tentang perbuatan yang dilarang syariat Islam dan tentang hukuman yang dijatuhkan hakim untuk pelaku. Perbuataan yang diatur di antaranya meliputi khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan tersembunyi antara dua orang berlainan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara dua orang berlainan jenis yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
Selain itu, qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang 4 saksi), liwath (homo seksual), dan musahaqah (lesbian). [baca: Qanun Jinayat Mengatur Pelaku Kelainan Seksual Homoseksual dan Lesbian]
Hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah hukuman cambuk atau denda berupa emas atau penjara. Banyaknya cambuk atau denda tergantung dari tingkat kesalahan. Paling ringan 10 kali atau denda 100 gram emas atau penjara 10 bulan, dan paling berat adalah 150 kali atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan.
Ketua Komisi G DPRA, Ramli Sulaiman, mengatakan, meskipun qanun jinayat juga berlaku untuk non Muslim, tapi mereka tetap diberikan kelonggaran. Jika membuat pelanggaran syariat Islam di Aceh, mereka dapat memilih hukum yang akan dikenakan.
Jika pelanggaran yang dilakukan non-Muslim tidak diatur di dalam undang-undang pidana, kasusnya akan diserahkan penyidik dan juga hakim Mahkamah Syariat untuk memutuskannya.
“Jadi tidak ada yang kebal hukum. Jika mereka melanggar dapat memilih apakah dikenakan qanun jinayat atau hukum pidana,” kata Ramli usai mengikuti persidangan, Rabu (24/9/2014) dikutip harian Analisa.
Menurut Ramli, meski non-Muslim diberikan opsi untuk memilih hukum yang dikenakan, tapi tetap saja qanun jinayat yang diutamakan. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya yang kebal hukum.
“Karena siapapun yang berada di Aceh harus mengikuti hukum, yang berlaku di Aceh,” jelasnya.
Qanun yang akan disahkan tersebut, sudah dikoordinasikan dengan Mahkamah Agung RI, Menkopolhukam, Mendagri dan juga disepakati oleh semua fraksi di DPRA.
“Jika tidak ada dalam hukum pidana Indonesia maka nantinya akan diputuskan oleh pengadilan,” jelasnya..*