Hidayatullah.com- Ketua Muhammadiyah, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc, MA mengaku tak setuju dengan larangan guru agama asing mengajar di Indonesia.
Menurut Yunahar, tindakan seperti itu dinilai berlebihan, apalagi sampai dikaitkan dengan radikalisasi agama.
“Istilahnya itu sama saja dengan mengusir satu tikus dengan membakar rumahnya,” kata Yunahar kepada hidayatullah.com belum lama ini di Yogyakarta.
Pernyataan Yunahar ini disampaikan terkait Peraturan Menteri Tenaga Kerja belum lama ini yang melarangan guru agama asing mengajar di sekolah dan pesantren di Indonesia.
Menurutnya, Menaker seharusnya tidak perlu digeneralisir secara berlebihan sebagai sebab radikalisasi agama yang terjadi di Indonesia.
Yunahar menuturkan masyarakat Indonesia tidak bisa menutup mata jika mubaligh-mubaligh dari luar negeri sudah banyak membantu umat Islam di Indonesia.
Seperti peran para guru-guru dari Al-Azhar beberapa Pondok Pesantren dan IAIN maupun madrasah di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, keterlibatan ulama Timur Tengah di Indonesia sudah ada sejak dahulu, khususnya peran mereka mengajarkan ilmu dan bahasa Arab.
“Dalam pelajaran bahasa Arab ada contoh-contoh karya misalnya dalam mutala’ah yang isinya teologi, apa itu masuk teologi atau bahasa Arab. Apakah menteri tenaga kerja mau mengawasi lingkup kerja yang sebetulnya wilayah Menteri Agama. Saya kira ngga perlu Menaker melakukan itu, itu sama saja mencari-cari kerjaan saja itu namanya,” ujar Yunahar.
Menurut Yunahar paham apapun pada zaman globalisasi saat ini bisa masuk tanpa perlu peraturan. Ia menyebut liberalisme, sekulerisme maupun pluralisme faktanya bisa masuk justru melalui buku-buku, majalah dan interenet.
“Siapa yang bisa membendung semua itu? Menurut saya Menteri Tenaga Kerja (Menaker) berlebihan,” tegas Yunahar.
Yunahar menuturkan lebih baik Menaker fokus mengurusi masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) daripada melarang guru agama asing mengajar di Indonesia.
Lagi pula, lanjutnya, penilaian terhadap guru agama asing bisa menyebabkan radikal atau tidak itu bukan wilayah Kemenaker tetapi Kemenag.
“Menaker harusnya konsultasi lebih dahulu dengan Kemenag karena itu wilayah Kemenag,” tutup Yunahar.*