Hidayatullah.com- Sekretaris Komisi Kajian Bagian Litbang Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta, Robi Nurhadi mengatakan perlu adanya kesepakatan bersama mendefinisikan istilah radikalisme supaya tidak ada politisasi.
“Radikalisme yang keras itu masuk dalam ranah masyarakat dan politik,” kata Robisaat menjadi pembicara dalam acara seminar nasional bertajuk “Menangkal Paham Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan” di Gedung Yos Sudarso Lantai 2 Kantor Walikota Jakarta Utara, Sabtu (09/05/2015) pagi.
Menurut Robi istilah radikalime secara bahasa itu berasal dari kata radiks yang bisa berarti akar, dasar dan kembali ke awal.
Namun, lanjut Robi, pada akhirnya mengalami dilema dalam pemaknaan serta pemaknaan tersebut mengalami dilema juga disebabkan latar belakang yang berbeda-beda.
“Saya membenarkan dengan adanya forum-forum seminar seperti ini untuk mendudukan dan menyepakati definisi radikal secara bersama,” ungkap Robi.
Selain itu, Robi menyampaikan orang yang menjalankan ajaran agamanya secara mendasar sesuai dengan norma yang ada itu tidak boleh disalahkan. Maka, menurutnya tak adil jika radikal dialamatkan kepada orang-orang seperti itu.
Robi menganalogikan dengan metode pemakaian sandal dengan ukuran kaki yang sesuai, bukan berpikiran yang penting memakai sandal terlebih dulu supaya telapak kaki tidak terkena paku.
“Jangan sampai memaksakan memakai sandal yang ukurannya tidak sesuai karena akan merusak sandal lainnya,” kata Robi.
Menurut Robi, ada saatnya umat Islam itu harus bersikap tegas. Namun, ada juga saatnya dimana umat Islam harus bisa menghormati adanya sebuah perbedaan secara bijaksana.
“Definisi radikalisme seharusnya ditentukan oleh suatu lembaga dalam hal ini adalah negara,” pungkas Robi.
Sebagaimana diketahui acara seminar tersebut diselenggarakan oleh salah satu organisasi Syiah yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan, yaitu Organization of Ahlulbayt for Social support and Education (OASE) bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Utara.
Acara tersebut menghadirkan empat pembicara sekaligus seperti termasuk Robi Nurhadi (Sekretaris Komisi Kajian dan Litbang MUI DKI Jakarta), Muslih Nasuha (Kasubdit BNPT atau Wakil Ketua PBNU), Zuhairi Misrawi (Dosen Universitas Islam Negeri Jakarta) dan Dr Zuhdi Zaini dan Jalaluddin Rahmat (Ketua Umum IJABI dan Dewan Syuro OASE).
Sebelum ini, dosen STID M Natsir Dr Jeje Zaenuddin pernah mengatakan, penguasa cenderung menyerobot domain (ranah) para ulama dalam pemahaman tentang keagamaan. Akibatnya, muncul istilah-istilah ‘teorisme’, ‘radikal’, dan ‘ekstrimisme’ yang distempelkan secara keliru kepada umat Islam. [Baca: Penguasa Dinilai Cenderung Serobot Domain Ulama Dalam Masalah Keagamaan]
“Kasus pemblokiran situs-situs Islam yang dilakukan secara ngawur tanpa konsultasi dengan MUI, itu menujukkan bahwa negara menyerobot kewenangan ulama,’’ ujar Jeje memberi contoh.*