Hidayatullah.com– Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, M. Cholil Nafis, Ph.D mengatakan bahwa dalam mengerjakan sholat seseorang harus memenuhi syarat dan rukun sholat.
Pernyataan itu ia sampaikan menanggapi fenomena sholat tarawih tercepat sebanyak 20 rakaat dengan witir 3 rakaat yang selesai hanya dalam waktu 15 menit, di pesantren Mambaul Hikam, Mantenan, Udawanu, Blitar.
“Di antara syarat dan rukun sholat seperti, pertama, ketika sholat harus membaca al-Fatihah dengan benar, panjang dan pendeknya. Kedua, dalam mengerjakan sholat harus tuma’ninah dalam melakukan gerakan-gerakan shalat. Ada juga syarat diterimanya sholat adalah khusu’,” papar Cholil saat dihubungi hidayatullah.com, Jum’at (26/06/2015). [baca: Soal Shalat Tarawih Tercepat di Dunia, MUI: Tidak Sah Tak Tuma’ninah]
Cholil menegaskan sekiranya di dalam kebiasaan sholat seseorang tidak menemukan ketiga unsur itu, –tidak tuma’ninah dan bacaan al-Fatihahnya tidak benar, panjang pendeknya– maka sholatnya tidak sah. Dan jika tidak khusu’, lanjutnya, berarti sholatnya tidak akan mendapatkan pahala.
“Kadang-kadang ada yang suka buru-buru. Saya melihat fenomena shalat tarawih tercepat itu hanya mengambil yang wajibnya saja dan mungkin cenderung tidak tuma’ninah,” kata Cholil.
Cholil menjelaskan sebetulnya makna daripada tarawih itu sendiri adalah santai, dan tidak perlu terburu-buru. Maka, lanjutnya, bagaimana caranya pemahaman itu bisa diresapi oleh masyarakat luas, umat Islam khususnya.
“Memang ada di sebagian kalangan tertentu, sholat tarawihnya itu cepat,” ungkap Cholil.
Kendati demikian, Cholil berharap jika masyarakat muslim Indonesia bisa meneladani Rasulullah dalam mengerjakan sholat yaitu dengan khusu’ bahkan sampai menangis. Jika umat Islam bisa seperti itu, lanjutnya, akan tersentuh hatinya dalam meresapi sholat.
“Nah, sholat tarawih yang tercepat itu mungkin menggugurkan sunnahnya tetapi faedahnya kurang maksimal didapat,” tegas Cholil.