Hidayatullah.com- Aktivis Lingkar Studi Corporate Social Responsbility (CSR) Indonesia Jalal menuturkan, bahwa dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan, industri rokok mengeksploitasi isu-isu nasionalisme seputar pembelaan terhadap kehidupan petani tembakau.
“Hal itu ditelan mentah-mentah oleh DPR dan dijadikan sebagai legitimasi untuk memberikan hak seluas-luasnya kepada kapitalisme industri rokok dalam upaya meraup keuntungan besar,” kata Jalal menyayangkan saat menjadi pembicara dalam konferensi pers (konpers) bertema “Korupsi dan Pertembakauan, Siapa Sponsornya?” di The Ubud Buliding, Jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat, Kamis (15/10/2015).
Menurut Jalal praktik pembelaan kepentingan bisnis tak berhenti sampai di situ. Sebab, di saat yang sama, lanjutnya, pasal kretek menyelundup masuk dalam RUU Kebudayaan agar menjadi jalan mulus bagi kapitalisme bisnis supaya bebas menguasai pasar rokok di Indonesia.
“Kapitalis asing masuk ke negeri ini sejak sekitar satu dekade lalu untuk mengeksploitasi konsumen Indonesia dengan memanfaatkan regulasi yang lemah dan tak pernah ada perhatian serius dari industri rokok secara global terhadap petani dan pekerja lokal. Impor tembakau yang sangat murah dan mekanisasi adalah dua bukti utama soal ketidakpedulian itu,” tandas Jalal.
Konpers yang dimoderatori Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menghadirkan pembicara Julius Ibrani (Koordinator Batuan Hukum YLBHI) dan Kepala Divisi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan. [baca: KAKAR Gelar Konferensi Pers Bertema “Korupsi dan Pertembakauan, Siapa Sponsornya?”].
Konpers diselenggarakan oleh Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok (KAKAR) bersama lembaga-lembaga anti korupsi yang peduli kepentingan rakyat.
KOKAR sendiri merupakan koalisi anti korupsi masyarakat yang terbentuk untuk melawan penghilangan ayat rokok dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang diprakarsai oleh beberapa lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap isu anti korupsi dan pengendalian tembakau di Indonesia.*