Hidayatullah.com– Berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) di Indonesia dinilai banyak yang sarat pesanan asing. Baik yang belum maupun telah menjadi UU.
Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Soebagio, menyinggung hal itu saat ditemui sejumlah awak hidayatullah.com-Majalah Suara Hidayatullah di kediamannya di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
“Ini semua, kan, pesanan. Kita sudah terikat lama dengan CEDAW,” ujarnya, Jumat, 27 Sya’ban 1437 (03/06/2016) itu.
CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women) adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Instrumen standar internasional yang diadopsi PBB (1979) ini mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981.
“Indonesia sudah meratifikasi CEDAW sejak 1984,” ujar Rita.
Menurutnya, meskipun sekilas terkesan seperti positif, namun tujuan CEDAW yang paling utama adalah menyerang nilai-nilai agama khususnya Islam. “Secara langsung atau tidak langsung,” imbuhnya.
Menurut Rita, yang pertama kali membuat CEDAW adalah mereka yang memusuhi Islam. “Sementara Amerika tidak pernah meratifikasi CEDAW,” ungkapnya.
Ia mengatakan, dengan CEDAW itu, berulang kali mereka melakukan berbagai upaya untuk meloloskan keinginannya di Indonesia. Misalnya dengan mengajukan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) beberapa waktu lalu.
“Tidak lolos lewat KKG, maka lewat yang sekarang ini (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Red),” imbuh Rita.
RUU yang disebut terakhir itu diajukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. RUU ini kabarnya akan masuk Program Legislasi Nasional 2016 DPR RI.
“Ada potensi RUU ini menyerang keyakinan kita terutama nilai-nilai Islam,” ungkap Rita. [Baca penjelasannya: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dipandang Perlu Diwaspadai]
Belum Disadari Banyak Pihak
Rita mengungkap, selain lewat parlemen, kelompok-kelompok pro CEDAW terus bergerak secara masif, dengan berbagai cara, untuk menggolkan keinginan mereka.
“Mereka pintar menggiring opini kita. Terutama melalui media-media mainstream. Kita bersyukur karena masih ada media-media Islam (sebagai penyeimbang),” ujarnya.
Sekalipun demikian, ia menyayangkan, kondisi yang diyakini membahayakan Islam dan bangsa Indonesia tersebut belum banyak disadari berbagai kalangan.
“(Situasi) ini yang tidak cukup dipahami oleh (sebagian) anggota dewan dan ormas-ormas Islam sekalipun,” ujarnya.*