Hidayatullah.com– Pasca Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis 2 tahun penjara dan memerintahkan penahanan atas terdakwa penista agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kuasa hukum Ahok mengajukan penangguhan penahanan, Selasa sore (09/05/2017).
Ahli Hukum Pidana Dr Abdul Chair Ramadhan SH MH menekankan, putusan Majelis Hakim yang memerintahkan Ahok untuk ditahan adalah semata-mata ditujukan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Adapun upaya penangguhan penahanan untuk Ahok, adalah upaya yang sia-sia belaka,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Jumat (12/05/2017).
Ia menjelaskan, perintah pengadilan yang secara serta merta menahan Ahok dalam rumah tahanan (rutan) harus dimaknai sebagai keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law).
“Sehingga tidak boleh diabaikan,” imbuh Ahli Hukum MUI ini.
Majelis Hakim, kata Chair, telah benar menerapkan norma hukum, bahwa faktanya Ahok sebelumnya belum pernah ditahan. Pada saat putusan pemidanaan dijatuhkan, seketika itu pula perintah penahanan dibacakan dalam amar putusan.
“Secara hukum upaya penangguhan penahanan tidak dapat diterima. Penangguhan hanya dapat dilakukan dalam tahap penyidikan sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP),” tandasnya.
Upaya penangguhan penahanan Ahok dikatakan sia-sia karena antara putusan pemidanaan dan perintah penahanan adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Keduanya, jelas Chair, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.
“Ketika pengadilan menjatuhkan putusan, melekat kewenangan pada Majelis Hakim yang bersifat opsional sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 193 ayat (2) KUHAP,” jelasnya.
Opsi pertama, terang Chair, Ahok faktanya tidak ditahan, maka Hakim dapat memerintahkan Ahok untuk ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup.
Opsi kedua, menurutnya, jika seandainya Ahok ditahan, maka Hakim dalam putusannya dapat memerintahkan tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, tentunya dengan adanya alasan yang cukup pula.*