Hidayatullah.com– Digitalisasi penyiaran berimplikasi pada efisiensi penggunaan frekuensi untuk program siaran. Dengan kata lain, begitu terjadi migrasi dari penyiaran analog ke penyiaran digital, akan terjadi penghematan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran komersial.
Sehingga, akan ada sisa frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial dan kepentingan komunikasi non-penyiaran.
Anggota Koaliasi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Muhamad Heychael mengungkapkan, migrasi ke penyiaran digital bukan saja akan memberikan peluang usaha dan penataan industri siaran yang lebih adil bagi masyarakat.
Namun, jelasnya, juga memberikan digital dividend yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial.
Baca: KNRP Paparkan Tujuh Alasan Mengapa RUU Penyiaran dari Baleg Harus Ditolak
Seperti frekuensi khusus untuk penanganan bencana alam, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Juga untuk kepentingan pengembangan internet broadband ke seluruh Indonesia.
Hanya saja, terang Heychael, beberapa pasal yang mengatur migrasi penyiaran dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diharmonisasi Badan Legislasi (Baleg) DPR, justru cenderung mengukuhkan dominasi lembaga-lembaga penyiaran swasta dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 26 draf Baleg terkait penguasaan swasta atas sisa frekuensi analog, ia menyebut, pasal tersebut memberikan kewenangan bagi pihak swasta untuk mengambil manfaat jauh lebih banyak atas digitalisasi penyiaran.
“Pertanyaannya, mengapa sisa frekuensi ini tidak dikembalikan kepada negara sebagai pemilik frekuensi guna digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan publik?” ujar Heychael di Gedung IASTH, Universitas Indonesia, Jakarta, Senin (03/07/2017).
Baca: ‘Memihak Pemodal Besar’, Draf RUU Penyiaran versi Baleg Disesalkan
Kemudian, dalam Pasal 33 terkait penyelenggaraan multipleks. Yang mana, sambungnya, aturan dalam draf Baleg memberikan lembaga penyiaran swasta (LPS) hak untuk mengelola dan memanfaatkan frekuensi penyiaran digital yang dimilikinya di satu wilayah siaran dinilai akan semakin mengukuhkan dominasi swasta.
Selama ini, papar Heychael, dalam banyak kajian, LPS gagal dalam menampilkan siaran hiburan yang berkualitas dan siaran berita yang objektif dan independen.
“Pemberian kekuasaan kepada LPS untuk mengelola frekuensi siaran bukan hanya mengurangi kapasitas LPS untuk lebih konsentrasi pada isi siaran, tetapi juga tidak efisien dibandingkan dengan pola single multiplexing,” ungkapnya.
Di sisi lain, tambahnya, pengalaman menunjukkan bahwa LPS tidak dapat dipercaya dalam pemanfaatan frekuensi publik. Jika tidak diorientasikan demi keuntungan ekonomi semata, frekuensi cenderung disalahgunakan demi kepentingan politik praktis.
Baca: KNRP: Poin-poin Draf Revisi UU Penyiaran ini Abaikan Kepentingan Publik
Selanjutnya, Direktur Remotivi ini menyoroti Pasal 24 ayat 3 dan 4 draf Baleg tentang pemberian keistimewaan atau insentif yang luar biasa bagi LPS yang memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) tetap. Dimana insentif tersebut di antaranya adalah prioritas mendapatkan alokasi kanal digital dan keringanan pajak atas pengadaan peralatan untuk penyelenggaraan siaran digital.
Terakhir, terkait Pasal 17 draf Baleg yang menetapkan digitalisasi jasa penyiaran televisi dilakukan secara alamiah. Menurut Heychael, jika migrasi dilakukan secara alamiah, yang paling diuntungkan adalah tetap pemain-pemain lama yang memiliki dana dan infrastuktur yang paling memadai.
Akibatnya, kata dia, pemusatan penguasaan informasi yang selama ini terjadi tak akan berubah.
“Hal lainnya, jika migrasi dilakukan secara alamiah, tidak akan ada digital dividend,” tandasnya.*