Hidayatullah.com– Tim Kuasa Hukum Buni Yani, tersangka kasus ujaran kebencian, beraudiensi dengan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Kedatangan tersebut sekaligus menyampaikan kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan kasus yang menjerat Buni Yani.
Ketua Tim Kuasa Hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian mengatakan, di antara kejanggalan tersebut munculnya dakwaan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang mengedit video. Padahal, kata dia, sejak awal penyidikan tidak ada terkait pasal tersebut.
“Pasal itu muncul tiba-tiba, kami katakan ini pasal sim salabim. Karena dari awal sampai akhir penyidikan tidak ada satupun baik itu ahli, pelapor, saksi, atau tersangka sendiri yang diperiksa Pasal 32 ayat 1,” ujarnya di ruang Pimpinan DPR, Gedung Nusantara III, Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (02/11/2017).
Buni Yani dijerat Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian (hate speech) dan Pasal 32 ayat 1 tentang mengedit video. Namun, saat tuntutan, jaksa memilih mengedepankan Pasal 32 ayat 1 dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah.
Baca: Datangi Fadli Zon, Kuasa Hukum Buni Yani Minta Pengawasan Penegakan Hukum
Sementara itu, pengamatan hidayatullah.com, tim Kuasa Hukum Buni Yani lainnya, Irfan Iskandar menyatakan, tuduhan bahwa Buni Yani sebagai penyebar kebencian sebagaimana laporan yang dilayangkan kepada kepolisian dan akhirnya kasus tersebut naik di persidangan, sejatinya telah gugur oleh JPU sendiri.
“Karena JPU tidak menuntut Buni Yani dengan pasal hate speech tapi justru menuntut dengan pasal baru yang tidak pernah ada penyidikan terhadap pasal tersebut,” jelasnya.
Label yang ditudingkan kepada Buni Yani sebagai pengujar kebencian, lanjut Irfan, juga telah terpatahkan oleh para ahli bahasa. Dimana disebutkan ahli bahasa yang digunakan pihak Polda Metro Jaya seperti yang termuat dalam BAP, bahwa kalimat Buni Yani tidak ada unsur pidana.
Baca: Jadi Saksi Ahli Buni Yani, Yusril: Pasal Dakwaan Tak Ada Unsur Pidana
“Ahli bahasa mengatakan dalam bahasa Indonesia terdapat tiga unsur, yakni subjek, predikat, objek. ‘Bapak-ibu memilih Muslim’ sebagai subjek, ‘dibohongi’ sebagai predikat, dan ‘al-Maidah 51’ sebagai objek.
Dan kata ‘pakai’ tidak masuk dalam struktur, sehingga ada atau tidak ada kata ‘pakai’ maknanya tidak berubah,” paparnya.
Atas dasar itu, terang Irfan, ahli pidana menyatakan tidak ada unsur pidana apa yang ditulis Buni Yani.
“Mungkin itulah sebabnya JPU menggugurkan sendiri pasal hate speech yang didakwakan, justru sekarang menggunakan Pasal 32 ayat 1 tentang mengedit video yang muncul tiba-tiba dan tidak pernah disidik,” tandasnya.
Selain kejanggalan itu, Aldwin Rahadian menambahkan, proses hukum Buni Yani cenderung sebagai upaya balas dendam atas putusan bersalah yang divonis atas mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penghinaan Surat Al-Maidah ayat 51.
Hal itu, dikatakan Aldwin, terkait pernyataan Jaksa Agung Prasetyo yang menyebut tuntutan hukuman Buni Yani seimbang dengan yang diterima Ahok.
“Kami yakin variabel kepentingan itu ada di kasus ini. Artinya motif balas dendam itu terlihat,” imbuhnya.
“Mungkin baru kali ini ada penetapan tuntutan berdasarkan pada perkara lain dengan alasan keseimbangan. Artinya JPU mengabaikan fakta-fakta persidangan,” pungkas Aldwin.*