Hidayatullah.com– Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini, yang angkanya hampir menyentuh Rp 14.000, ditanggapi oleh peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurutnya, hal ini sudah harus menjadi perhatian serius. Sebab, kata dia, devisa per bulan bisa tergerus rata-rata 3-5 miliar USD.
“Ini enggak sehat bagi ekonomi ke depannya karena cadev (cadangan devisa) perlu untuk stabilitas kurs jangka panjang,” ujarnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Kamis (26/04/2018).
Ia mengatakan, cadev pasti akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. “Bank Indonesia (BI) tidak bisa andalkan cadev sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar,” tegasnya.
Baca: Harga Naik, Kurs Dolar Naik, Semangat Belajar Tetap Naik
Jika kondisi mendesak, sambungnya, BI bisa menaikkan bunga acuan. Sebab jika cadev terus menerus berkurang, maka akan membahayakan perekonomian.
“Di Asia Tenggara misalnya rasio cadev terhadap PDB Indonesia salah satu yang terendah yakni 14 persen. Filipina saja sudah 28 persen, dan Thailand 58 persen. Cadev menentukan kekuatan moneter suatu negara,” jelasnya.
Bhima menyarankan pemerintah untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik.
“Pulihkan kepercayaan investor, jaga stabilitas harga baik BBM, listrik, maupun harga pangan jelang Ramadhan, sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56 persen terhadap PDB bisa pulih,” katanya.
Baca: Muhammadiyah Menilai Kebijakan Ekonomi Jokowi Belum Konkret
Kemudian, lanjut Bhima, pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri, diharapakan melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat resiko gagal bayar utang valas meningkat.
“Bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen, perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi ke depannya kurs dolar semakin mahal,” sarannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pelemahan rupiah tak sepenuhnya buruk. Sebab malah bisa memacu kinerja ekspor.
Kata Bhima, hal itu tidak terbukti dalam praktiknya. Ia menuturkan, banyak eksportir terutama komoditas utama kelapa sawit yang mengeluh.
Baca: Rupiah Dinilai Masih ‘Mencemaskan” Pasca Pidato Nota Keuangan Presiden Jokowi
“Ekspor pakai kapal asing bayarnya dolar. Biaya logistik jadi lebih mahal. Kemudian industri pengolahan CPO (minyak sawit mentah) pun butuh bahan baku penolong dari impor. Jadi di industri yang orientasi ekspor tekanannya besar sekali. Belum lagi industri farmasi 90 persen bahan baku impor. Tekstil garmen impor juga,” ungkapnya.* Andi