Hidayatullah.com– Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis (01/10/2018) pagi bergerak melemah sebesar 75 poin menjadi Rp 15.139 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 15.064 per dolar AS.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mayoritas pemicu depresiasi kurs rupiah hingga lebih dari Rp 15.000 per dolar AS karena faktor eksternal.
“Saya lihat dominasi hari ini mayoritas berasal dari luar,” ujar Menkeu Sri Mulyani kepada pers di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.
Ia mencontohkan pada Rabu (03/10/2018), ada pengaruh sentimen dari Italia yang defisit APBN-nya cukup besar. “Sekarang Italia komitmen menurunkan defisit APBN, lalu juga ada sentimen yang lain,” katanya lansir Antara.
Sementara dari sisi domestik, menurut dia, pemerintah terus mewaspadai posisi neraca pembayaran. “Ini masih harus dikendalikan dengan baik,” katanya.
Sementara itu pembantu Presiden Joko Widodo lainnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut masyarakat tidak perlu risau dengan kondisi nilai tukar (kurs) rupiah yang menyentuh angka psikologis baru di Rp 15.000 per dolar AS.
“Rupiah saya kira tidak ada masalah, kenapa mesti risau di Rp 15.000. Saya bilang tidak perlu risau karena inflasi masih bagus dan utang masih rendah,” kata Luhut di kantornya, Jakarta, Rabu (03/10/2018).
Menurutnya, pemerintah mempunyai strategi untuk menekan laju impor, di antaranya melalui program B20, pariwisata, dan penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
“APBN kita juga sangat kredibel. Tidak ada masalah pendanaan. Kami bayar untuk Palu, Ibu (Menkeu) Ani kasih uangnya,” kata dia.
Berbeda dengan Luhut, ekonom senior Rizal Ramli justru mengingatkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah menembus Rp 15.000 merupakan awal yang harus diwaspadai oleh pemerintah maupun bank sentral.
“Apakah Rp 15 ribu sudah merupakan akhir? Kami mohon maaf, karena ini baru permulaan,” kata Rizal dalam seminar di Jakarta, Rabu (03/10/2018).
Rizal mengungkapkan alasan kemungkinan depresiasi rupiah akan berlanjut yaitu karena Bank Sentral AS (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuan hingga akhir tahun.
Kondisi itu dapat memicu pembalikan modal dari negara berkembang dan membuat mata uang garuda mengalami perlemahan.
Selain itu, indikator ekonomi negatif yang melanda negara-negara berkembang dan perang dagang antara AS dengan para mitra dagang utama juga bisa berdampak kepada pelemahan rupiah.
Untuk itu, ia meminta adanya upaya lebih dari pemerintah guna memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan secara drastis.
Salah satunya dengan menekan impor, bukan hanya barang konsumsi, namun juga bahan baku atau modal yang selama ini membebani neraca perdagangan.
“Kenapa tidak fokus untuk menekan 10 bahan impor Indonesia yang besar, seperti baja? Kalau hanya barang konsumsi, efeknya kecil,” katanya.
Rizal juga mengusulkan adanya revisi UU lintas devisa dan sistem nilai tukar untuk memaksa devisa hasil ekspor masuk ke Indonesia. “Kalau mau badan kita sehat, seluruh ‘revenue’ ekspor harus masuk ke dalam. Indonesia masih rentan terhadap ini,” kata mantan Menko Kemaritiman ini.
Ia mencontohkan kondisi Thailand yang saat ini mata uangnya tidak rentan dari tekanan global, karena mempunyai kelebihan devisa dan surplus neraca transaksi berjalan.*