Hidayatullah.com– Temuan lain KontraS dalam evaluasi empat tahun kinerja hak asasi manusia (HAM) pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) adalah, dari 46 Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM), sebagian besarnya tidak cukup jelas status pencapaiannya.
Ada empat RANHAM yang sangat signifikan gagal dijalankan dan memundurkan target capaiannya.
Yakni pembuatan sejumlah PP dan Perpres aturan turunan UU Sitem Peradilan Pidana Anak (SPPA), pembuatan sejumlah PP dan Perpres aturan turunan UU Disabilitas, ratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa, dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani, menjelaskan, pemenuhan realisasi atas RANHAM terjadi karena secara umum RANHAM 2015-2019 menetapkan agenda-agenda yang lebih mudah dan realistis untuk dicapai. Seperti; peningkatan fungsi-fungsi koordinasi, penguatan institusi, harmonisasi dan evaluasi peraturan perundang-undangan, serta pendidikan dan peningkatan kesadaran maysarakat tentang HAM.
“Namun, ini juga menjadi sasaran kritik karena beberapa rumusan target rencana aksi justru bersifat minimalis, mundur, dan tidak mencakup isu-isu yang selama ini menjadi fokus, perhatian, dan menjadi prioritas dari lembaga-lembaga pemantau hak asasi manusia.
Seperti terkait dengan kebebasan berekspresi dan berorganisasi, isu penghentian segala praktik dan bentuk-bentuk penyiksaaan, extrajudicial killing, penghapusan hukuman mati, isu pembela HAM; termasuk kasus Munir dan Novel Baswedan, impunitas, akuntabilitas HAM di Aceh dan Papua, perlindungan kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan,” terangnya dalam konferensi pers di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, kemarin.
Baca: 20 Tahun Reformasi, Pusdikham Uhamka Soroti Penanganan Kasus HAM
Sementara itu, lanjut Yati, dari 164 rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) yang diakomodasi oleh Pemerintah Indonesia, tujuh isu utama gagal dijalankan dan mengalami kemunduran. Di antaranya agenda penghapusan impunitas, penuntasan kasus masa lalu, penghilangan paksa, penghapusan dan pencegahan praktik penyiksaan, penghapusan hukuman mati, jaminan HAM dalam penindakan tindak pidana ‘terorisme’, pelindungan pembela HAM dan jurnalis, penghormatan dan jaminan HAM di Papua, dan kebebasan lainnya yang menurutnya fundamental.
“Secara spesifik kinerja buruk pemerintah dapat dilihat dalam tidak dipenuhinya 10 rekomendasi untuk memberikan perlindungan yang memadai untuk pembela HAM dan jurnalis, 6 rekomendasi untuk situasi HAM di Papua, 20 rekomendasi terkait dengan upaya untuk menghapus hukuman mati, 4 rekomendasi untuk penghapusan impunitas dan penghilangan paksa, 12 rekomendasi untuk penghapusan dan pencegahan praktik-praktik penyiksaan, 1 rekomendasi terkait penghormatan HAM dalam perang melawan terorisme, dan 8 rekomendasi terkait hak atas kebebasan yang fundamental,” bebernya.
Baca: KontraS: Tak Satupun Komitmen HAM Jokowi Dipenuhi Secara Penuh
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Janji Jokowi terakhir adalah pembukaan akses liputan jurnalis asing di Papua. Yati menuturkan, sejak pertama kali disampaikan ke publik pada Mei 2015, hingga saat ini, masih sangat sulit bagi jurnalis asing untuk mendapatkan izin liputan di Papua. Sejumlah wartawan asing telah dan kembali mengalami penangkapan.
“Hal ini semakin memperburuk citra Indonesia yang terus berjuang menangkis kampanye tuntutan akuntabilitas hak asasi manusia di Papua yang disuarakan para pegiat HAM, pengamat internasional, dan negara-negara pasifik yang memberikan dukungan penuh pada hak bangsa Papua untuk penentuan diri sendiri (self-determination),” pungkasnya.* Andi
Baca: KontraS Desak DPR Segera Bentuk Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme