Hidayatullah.com– Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) menyatakan bahwa kampanye akbar Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK), Senayan, Jakarta, bukan merupakan kampanye identitas.
Pimpinan AQL Islamic Center ini merasa lebih tepat menyebutnya sebagai kampanye yang sarat dengan kearifan lokal dan tidak melenceng dari tradisi orang Indonesia.
UBN mengatakan, kampanye calon presiden dan calon wakil presiden selama ini selalu identik dengan hura-hura, joget-joget, bukan sesuatu yang menyangkut kearifan Indonesia yang terdiri dari heterogenitas agama, suku, budaya, dan golongan.
“Saya merasakan atmosfer ketika peserta kampanye yang datang ke GBK tidak hanya Muslim, tapi juga non-Muslim,” ungkap UBN di Jakarta, Senin (08/04/2019) dalam pernyataannya.
Baca: UBN di Kampanye Akbar: Viralkan, 17 April Coblos Prabowo-Sandi!
Sekjen MIUMI ini menyebutkan, di antara kearifan lokal yang terjadi di Senayan, Ahad (07/04/2019), yaitu berkibarnya bendera Merah Putih terbesar dibanding alat peraga lain, orasi kebangsaan dari tokoh lintas agama, dan menyanyikan “Indonesia Raya” secara khidmat.
Pengurus Dewan Pertimbangan MUI ini juga melihat kampanye kearifan lokal dari banyaknya bendera partai politik, organisasi masyarakat, komunitas, bahkan setiap individu yang datang semuanya berkumpul dalam satu balutan semangat perubahan dan semangat kebangsaan.
“Meskipun kampanye tersebut didominasi oleh para aktivis dan Muslimah yang telah berhijrah dengan mengenakan cadarnya, tapi tidak ada diskriminasi terhadap mereka yang tidak menggunakan jilbab serta cadar. Sehingga, suasana Indonesia bangetlah,” ujar UBN.
Baca: Habib Hanif Menjawab Tuduhan seputar Shaf Shalat Jamaah di GBK
Dewan Tarjih PP Muhammadiyah ini menyebutkan kearifan lainnya. Yaitu, semua elemen masyarakat bahu membahu dengan semangat kerelawanannya membenahi kembali sampah yang ada di sekitar, membagikan makanan dan minuman, bahkan berani merogoh kantongnya untuk dana kemenangan Prabowo-Sandi.
“Ketertiban setelah itu juga terjaga. Nah, ini yang saya sebut sebagai kampanye kearifan lokal. Semua berjalan sesuai dengan tradisi, adat dan istiadat orang-orang Indonesia,” jelas UBN.
Ia berharap, tidak ada lagi pihak-pihak yang cepat memberi stigma negatif terhadap umat Islam seolah-olah identitas itu terlarang. Sebab, tidak mungkin mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam menjauhkan diri dari nilai-nilai tradisi Islam.
“Ini yang saya sebut sebagai kampanye kearifan lokal bukan politik identitas dalam kampanyenya. Semua berjalan dengan natural. Semua sesuai adat istiadat dan tradisi orang Indonesia. Ke depan, jika ada identik dengan Islam janganlah terlalu cepat distigma dengan sebuah identitas seakan akan melarang. Bagaimana mungkin kita menjauhkan umat Islam dari tradisi keislaman padahal umat Islam mayoritas di Indonesia,” katanya.
Baca: Kedepankan Isu Membangun Indonesia, Hindari yang Tak Produktif
Dia mengatakan, sebetulnya apa yang terjadi selama ini sering dilakukan oleh semua partai. Misalnya, memberikan gelar adat istiadat kepada calon presiden atau calon wakil presiden, juga pernah dialami oleh presiden sebelumnya.
Tradisi masuk pesantren, silaturahim antara tokoh, istigasah, shalawatan semuanya masuk kearifan lokal dalam tradisi keagamaan.
“Bahkan sempat terjadi kemarin deklarasi atas nama ulama, dari paslon lain. Atau ada kesan silaturahim sampai meralat doa. Itu semua hal-hal yang pernah terjadi tetapi kenapa kemudian jika dilakukan oleh mayoritas umat Islam bersama 02 diartikan sebagai politik identitas,” ungkapnya.*