Hidayatullah.com– Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP, Ahmad Basarah mengatakan, pesan kebangsaan Sumpah Pemuda adalah semangat persatuan nasional. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam Kongres Pemuda II begitu kental dengan simbol-simbol persatuan.
Para pemuda memilih bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Ini karena Bahasa Jawa dianggap memiliki stratifikasi sosial yang ketat dan berkebudayaan tinggi. Padahal, bangsa yang hendak diwujudkan adalah bangsa egaliter.
Dosen tetap Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) ini menjelaskan, kongres pemuda pada tahun 1926 dan 1928 merupakan bukti pada pemuda menanggalkan identitas kedaerahan. Mereka menyatu ke dalam identitas tunggal yakni ke-Indonesia-an.
Ahmad Basarah pun menyampaikan pelajaran penting dari momen Sumpah Pemuda. Pelajaran tersebut adalah peran-peran dan partisipasi peranakan Tionghoa dan keturunan Arab.
“Tempat yang digunakan sebagai lokasi deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928 di Jl Kramat Raya Nomor 106 (kini Museum Sumpah Pemuda) adalah rumah milik peranakan Tionghoa Sie Kong Liong,” ujar Ahmad Basarah lewat keterangan tertulisnya, Senin (28/10/2019).
Lalu, ada pula empat orang peranakan pemuda yang hadir pada Kongres Pemuda II. Mereka yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie.
Selain itu, sejarah mencatat pula peran AR Baswedan dalam menggelorakan semangat Sumpah Pemuda di kalangan peranakan Arab.
AR Baswedan saat itu menjadi motor penggerak Sumpah Pemuda keturunan Arab yang dilaksanakan di Semarang pada 4 Oktober 1934.
Ahmad Basarah menerangkan, ada tiga pernyataan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Pertama, sebutnya, Tanah Air peranakan Arab adalah Indonesia. Kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri). Ketiga, peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
“Inilah pesan kebangsaan penting yang bisa kita teladani. Bahwa sejak awal pondasi bangsa Indonesia adalah keberagaman. Puspa ragam kemajemukan tersebut, tidak hanya sebagai modal utama bangsa Indonesia, melainkan sebagai warisan dari generasi terdahulu. Karena itulah sudah menjadi kewajiban bagi generasi penerus untuk menjaga dan merawatnya,” kata Basarah.*