Hidayatullah.com- Anggota Komisi I DPR RI Sukamta kembali mengingatkan Pemerintah akan ancaman siber selama selama pandemi Covid-19. Mengingat selama pandemi, orang-orang lebih banyak terkoneksi ke internet sehingga sangat rentan untuk diserang.
Termasuk dalam hal ini misi diplomasi akan banyak melakukan interaksi secara online, mengingat di berbagai negara diberlakukan lockdown.
Sukamta secara khusus meminta pemerintah secara serius meningkatkan keamanan siber perangkat elektronik yang digunakan oleh para diplomat Indonesia di luar negeri.
Hal ini disampaikan Sukamta terkait pemberitaan adanya dugaan peretasan komputer milik seorang diplomat Indonesia di Canberra, Australia yang pada 3 Januari 2020 terdeteksi melakukan serangan berupa surat elektronik atau email berisi program jahat Aria-body ke kantor pemerintahan Australia.
“Saat ini serangan siber menjadi ancaman yang semakin nyata, meskipun tidak berbentuk secara fisik tetapi bisa menghadirkan gangguan politik yang serius,” ujarnya kepada hidayatullah.com semalam melalui pesan tertulis (11/05/2020).
Kalau keamanan siber para diplomat Indonesia lemah, negara lain katanya akan enggan berkomunikasi dengan Indonesia dalam isu-isu yang sensitif.
“Jangan sampai perundingan atau kebijakan kita bocor karena jalur yang kita miliki tidak aman,” ujar Sukamta mewanti-wanti.
Pun kalau bahan-bahan diplomasi bocor karena email atau perangkat komunikasi berhasil dibobol, isinya bisa diketahui negara lain, jelas ini akan memperlemah diplomasi Indonesia. Sebab, akan mudah diantisipasi negara lain.
“Kondisi ini akan sangat merugikan peran-peran diplomatik yang dilakukan Indonesia,” ujarnya
Sukamta menyatakan harapannya agar pihak Kemenlu RI perlu meningkatkan kewaspadaan soal ini dan bisa membuat protokol keamanan siber untuk para diplomat Indonesia.
Politisi asal DI Yogyakarta ini menyebutkan bahwa soal isu keamanan siber ini sudah sering diingatkan kepada pemerintah. Termasuk dalam hal ini menurutnya Indonesia memerlukan segera payung hukum terkait keamanan siber.
“Dengan adanya beberapa kasus bobolnya jutaan data pengguna Tokopedia dan Bhinneka serta diretasnya perangkat komputer milik diplomat Indonesia, sudah semakin mendesak untuk bisa diwujudkan UU tentang Ketahanan dan Keamanan Siber yang pada periode lalu belum bisa diselesaikan,” katanya.
Menurut Sukamta, belum adanya payung hukum ini membuat koordinasi antar sektor menjadi ruwet. Misal dalam soal peretasan komputer diplomat, siapa yang paling bertanggung jawab, apakah pihak Kemenlu, BIN, atau BSSN?
“BIN menyatakan sudah mengetahui keberadaan Aria-Body yang digunakan oleh kelompok Naikon yang diduga berasal dari China dalam 5 tahun terakhir, namun masih ada perangkat komputer diplomat yang berhasil diretas.
Hal ini menunjukkan masih ada kelemahan dalam ketahanan siber kita, yang boleh jadi bukan karena soal kemampuan teknologi tetapi dari sisi koordinasi antar instansi. Di sinilah menjadi penting adanya payung hukum,” ujarnya.*