Hidayatullah.com– Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) menilai kesepakatan yang dicapai DPR RI dengan sejumlah organisasi buruh perihal perbaikan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) bagus. Sebab, DPR menyerap, memperhatikan sejumlah elemen bangsa lainnya terkait RUU tersebut.
“Beberapa kesepakatan yang mengatasi koreksi dan kepentingan buruh, KSPSI dan KSPI itu perlu diapresiasi. Dan DPR juga harus melaksanakan konsekuen menyelesaikan kesepakatan itu, dengan memasukannya ke dalam aturan perundangan. Selain itu, demi kemaslahatan semuanya, DPR juga perlu mendengarkan dan mengakomodasi banyak kritik dan kritik dari elemen-elemen bangsa lainnya, seperti yang disampaikan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia dan lain sebagainya,” kata Hidayat Nur Wahid melalui keterangan pers di Jakarta (24/08/2020).
Baca: Menko Polhukam Setuju RUU Ciptaker Dibilang Jelek, Tapi…
Dia mengatakan bahwa masalah yang ada di dalam RUU Ciptaker tersebut bukan hanya ketentuan yang ada di dalam klaster ketenagakerjaan, tetapi ada banyak substansi yang bermasalah dan menimbulkan penolakan dari berbagai elemen bangsa, seperti masalah Pers, Jaminan Produk Halal, Lingkungan Hidup, Pendidikan, Hubungan Pusat dengan Daerah dan lain-lain.
Selain itu, HNW menyebut dan menjelaskan dari sudut konstitusi dan hirarki perundangan. Menurutnya, salah satu yang bermasalah secara mendasar dan belum ada perbaikan hingga saat ini adalah Pasal 170 RUU Ciptaker yang mengatur kewenangan berlebih kepada Pemerintah, dengan melegalkan ketentuan yang tak sesuai dengan UUDNRI 1945, sekaligus men-downgrade dan merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi.
Ketentuan Pasal 170 ayat (1) yang kontroversial itu sebutnya berbunyi, ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan kebijakan cipta kerja yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat peraturan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan / atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.’
Sedangkan, Pasal 170 ayat (2) perubahan ketentuan dalam UU itu dilakukan melalui peraturan pemerintah (PP) dan untuk itu pada ayat (3) menyebutkan Pemerintah dapat mengatur dengan Pimpinan DPR.
Lebih jauh, HNW menyebutkan bahwa ketentuan itu jelas-jelas tak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang seharusnya, bukan justru untuk mengubah undang-undang-undang dalam RUU tersebut.
Selain itu, lanjut HNW pembuatan/perubahan suatu UU, bila itu inisiatif dari Pemerintah, maka Pemerintah tidak cukup hanya ‘dapat dibentuk dengan Pimpinan DPR’ dalam RUU tersebut, melainkan ‘wajib’ membahasnya dengan DPR, bukan diatur dengan Pimpinan DPR.
Meski begitu, politisi PKS itu meminta agar DPR cermat dan tidak tergesa-gesa dalam membahas RUU inisiatif Pemerintah ini, tapi DPR juga harus menyelamatkannya hak konstitusional DPR dalam kuasa membuat UU, dengan mengkritisi Pasal 170 RUU Ciptaker itu.
“Itu pasal yang sangat bermasalah, dan bertentangan dengan UUD, menumpuk kekuasaan makin dominan di eksekutif, dan potensial membajak hak konstitusional DPR dalam kuasanya membuat UU. Karenanya wajarnya DPR menolak, mengkoreksi dan mengusut tuntas,” ujarnya.* Azim Arrasyid