Hidayatullah.com– Komunitas #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) menanggapi keresahan yang berkembang di masyarakat atas polemik konsensus seks (sexual consent) dan pendidikan seks komprehensif (comprehensive sexual education/CSE) yang mengemuka belakangan ini.
“Gagasan konsensus seks berasal dari rahim pemikiran Barat-sekuler. Dengan demikian, konsep ini sangat bertentangan dengan budaya nusantara dan tentunya syariat agama. Karenanya, ia juga tidak layak untuk diajarkan kepada generasi muda Indonesia melalui lembaga pendidikan,” ujar Koordinator Pusat #IndonesiaTanpaJIL Randy Iqbal diterima hidayatullah.com, Senin (28/09/2020).
ITJ menjelaskan, konsensus seks yang bermakna kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan kegiatan seksual tanpa mewajibkan adanya institusi pernikahan sesungguhnya telah mencederai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan haruslah ada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut agama dan negara.
“Kegiatan seksual yang hanya berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak tentu saja menghilangkan peran pemerintah dalam mengatur masyarakatnya untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” imbuhnya.
Adapun pendidikan seks komprehensif yang berdasarkan pada pemahaman consensus seks, menurut ITJ, bertentangan dengan dasar, fungsi, dan tujuan mulia pendidikan nasional. “Yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” imbuhnya.
Baca: ACN: Konsensus Seksual dalam RUU P-KS Mencederai UU Perkawinan
Baca: Kampanye #GoodLooking ITJ Disambut Meriah di Instagram
ITJ menyebutkan, konsep konsensus seks yang sangat kental dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) hingga kini telah menerima berbagai penolakan dari masyarakat karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki banyak kerancuan frasa dalam berbagai pasalnya, serta membuat sistem hukum yang berpotensi mengkriminalisasi aparat penegak hukum dalam penerapannya.
“Konsep konsensus seks dalam RUU P-KS memuat perumusan hukum pidana materiil yang berdiri di luar sistem hukum nasional yang sudah berlaku. Hal ini karena RUU P-KS mengabaikan konteks peraturan perundang-undangan yang terkait seksualitas masyarakat secara komprehensif. Sebaliknya, RUU P-KS justru menyempitkan persoalan seksualitas masyarakat hanya terbatas pada perbuatan seksual yang memuat unsur pemaksaan,” ujarnya.*