Hidayatullah.com- Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) yang mengadvokasi isu kesusilaan, bahaya feminisme, dan gender menyatakan, pemahaman konsensus seksual yang memiliki makna kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan kegiatan seksual, sesungguhnya mencederai Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan haruslah ada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut agama dan negara.
“Kesepakatan antara kedua belah pihak sebelum melakukan kegiatan seksual tentu saja menghilangkan peran pemerintah dalam mengatur masyarakatnya untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Koordinator ACN Erik Armero di Jakarta dalam rilisnya diterima hidayatullah.com (24/09/2020).
Hal itu disampaikan terkait keresahan yang berkembang di masyarakat tentang pemahaman mengenai konsensus seksual dan pendidikan seksualitas komprehensif.
ACN menjelaskan, pendidikan seksualitas komprehensif (CSE) yang berdasarkan pada pemahaman konsensus seksual bertentangan dengan dasar, fungsi, dan tujuan mulia pendidikan nasional yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
“Konsep konsensus seksual yang sangat kental dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) hingga kini menerima berbagai penolakan dari masyarakat karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki banyak kerancuan frasa dalam berbagai pasalnya,
membuat sistem hukum yang berpotensi mengkriminalisasi aparat penegak hukum dalam penerapannya,” ujar Erik.
ACN menyatakan, konsep konsensus seksual dalam RUU P-KS memuat perumusan hukum pidana materil yang berdiri di luar sistem hukum nasional yang sudah berlaku. Hal ini karena RUU P-KS mengabaikan konteks peraturan perundang-undangan yang terkait seksualitas masyarakat secara komprehensif. Sebaliknya, RUU P-KS menyempitkan persoalan seksualitas masyarakat hanya terbatas pada perbuatan seksual yang memuat unsur pemaksaan.
Erik pun menyatakan bahwa ACN mendukung dan mengawal pembahasan terkait delik kesusilaan yang sesuai dengan agama dan nilai luhur bangsa Indonesia dalam RKUHP untuk menghindari kekosongan hukum mengenai kejahatan seksual.
Pernyataan ACN tersebut didukung serta oleh sejumlah organisasi dan komunitas yaitu ASEAN Young Leaders Forum, Forum Solidaritas Lembaga Dakwah Kampus Jakarta Depok Bekasi, Indonesia Tanpa JIL Chapter Jakarta, ITJ Chapter Bogor, ITJ Chapter Depok, ITJ Chapter Bekasi, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Jakarta, KAMMI Bogor, KAMMI Depok, KAMMI Tangerang Selatan, KAMMI Bekasi, Lembaga Kajian Hukum KAMMI, Sekolah Pemikiran Islam Jakarta, Solidaritas Peduli Jilbab (SPJ) Jakarta, SPJ Bogor, SPJ Depok, SPJ Tangerang, dan SPJ Bekasi.*