Hidayatullah.com- Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) 2018 -2024 Dr Sabriati Aziz mengatakan tindakan Gerakan Anti Radikalisme Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) memasukkan Prof Dr Din Syamsuddin kelompok radikal jelas salam alamat.
Menurutnya, selama 15 tahun mengenal Din sebagai seorang cendekiawan moderat.
“Prof Din Syamsuddin adalah sosok yang saya kenal tidak kurang dari 15 tahun. Tapi kami kenalan secara lebih dekat sekitar 5 tahun terakhir ketika kami bersama di Dewan Pertimbangan MUI periode 2015 – 2020 dimana Prof Din jadi ketuanya,” kata Sabriati dalam keterangannya diterima hidayatullah.com pada Selasa (16/02/2021).
“Melalui interaksi secara lebih dekat di Wantim MUI dan diskusi di berbagai forum dalam 5 tahun belakangan, saya berkesempatan menyelami alam pikiran beliau. Saya menilai bahwa beliau adalah sosok moderat, pemersatu, dan berwawasan luas yang berdasar pada pemahaman Islam dan keilmuan yang begitu kuat,” tambahnya.
Selama ini menurut Sabriati, banyak pikiran Din justru menginspirasi gerakan organisasi Muslimah Indonesia. “Banyak wacana dan gagasan beliau yang memberi inspirasi pada kegiatan ormas-ormas Muslimah yang memiliki corak dan latar belakang yang beragam. Maka wajar jika sosok Prof Din dirasakan sebagai pemersatu umat oleh berbagai kalangan,” tambahnya.
Sabriati mengaku juga pernah berkunjung ke lembaga pendidikan milik Din Syamsuddin, Pesantren Modern Internasional Dea Malela di Sumbawa. Pesantren yang berwawasan internasional, santri dari berbagai negara, modern, serta kurikulum yang sangat luas dan moderat.
“Hal ini semakin memperkuat pandangan seperti dikemukakan di atas tentang siapa sesungguhnya Prof Din Syamsuddin,” tambahnya. “Maka jika ada pihak yang mengatakan bahwa Prof Din “radikal”, maka dengan tegas saya menyatakan itu sangat keliru dan salah alamat,” tambahnya.
Pondok Pesantren Modern Internasional “Dea Malela” yang digagas oleh Prof Dr Din Syamsuddin berdiri di Dusun Pamangong, Desa Lenangguar, Kecamatan Lenangguar, Kabupaten Sumbawa. Nama “Dea Malela” diambil dari sosok kakek buyut Din Syamsuddin dari generasi ke-7 sebelumnya, bernama Ismail Dea Malela.
Ismail Dea Malela adalah sosok penting dalam memperjuangan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun-tahun 1750-an. Sebelumnya Ismail bermukim di daerah Sulawesi, kemudian pada usia 17 tahun, hijrah ke Sumbawa untuk membantu perjuangan ayahnya Abdul Qadir Zaelani Dea Koasa dan pamannya Lalu Angga Dea Tuan untuk membangun kekuatan dan perlawanan mengusir penjajahan Belanda.
Kegigihan dan keberanian Ismail dalam berjuang melawan penjajahan Belanda, dikagumi oleh sang ayah dan paman. Bahkan Belanda kewalahan menghadapi keberanian dan kepiawaian Ismail, sehingga Ismail harus diasingkan dan dipasung di puncak bukit daerah Pemangong, Sumbawa.*