Hidayatullah.com—Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir, menilai Joko Widodo layak menagih janji Raja Salman terkait investasi ke Indonesia yang tidak terwujud. Hal ini menurutnya lebih baik daripada membiarkan sektor informal menjalin kerjasama ekonomi dengan Israel.
“Jangan membiarkan kelompok-kelompok informal negara menjalin hubungan dengan Israel, karena ini adalah posisi yang rawan bagi Indonesia sebagai negara yang bebas aktif dan juga bagi bangsa Indonesia yang punya posisi jelas dan tegas melawan segala bentuk kolonialisme. Jangan biarkan kekuatan-kekuatan informal itu baik ekonomi itu mapun yang kekuatan sosial keagamaan menjalin hubungan dengan Israel,” tegas Haedar dalam forum webinar UMY bertajuk Moderasi Indonesia untuk Dunia, Senin (15/11/2021).
Pernyataan ini disampaikan Haedar atas terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah forum ekonomi dunia G20 tahun 2022, yang dinilai memberikan harapan besar sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk kembali menjalankan peran utama di dunia Internasional sebagaimana dulu pernah diraih oleh Soekarno lewat Gerakan Non-Blok. Haedar mengatakan, kesempatan ini adalah ruang akselerasi bagi Indonesia. Tetapi dirinya juga menilai bahwa sejumlah catatan yang perlu diperhatikan oleh Presiden.
“Muhammadiyah berada di ranah mikro dan value. Tetapi kalau boleh kita usulkan dan rekomendasikan, pertama Indonesia perlu memperkuat peran yang lebih komprehensif di ASEAN. Ini peran regional yang bangsa serumpun,” demikian ungkapnya dikutip laman resmi muhammadiyah.or.id.
Ia berpesan agar prestasi Indonesia menjadi tuan rumah G20 tidak melalaikan dari kenyataan bahwa dalam masalah indeks sumber daya manusia, posisi Indonesia masih terperosok di peringkat keenam di level ASEAN. Hal ini perlu dilakukan akselerasi serius.
Terkait perubahan peta ekonomi global, ia juga berharap ada langkah berjenjang untuk mengupas resistensi hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Sebab disadari atau tidak, ke depan Tiongkok akan memimpin kekuatan ekonomi dunia.
“Hubungan Indonesia dengan Tiongkok itu dinamika yang tidak gampang dan ini punya resistensi tinggi di dalam negeri. HI perlu mengkaji. Bagaimana Indonesia keluar dari kebekuan relasi ini,” pesannya. “Jika menurut asumsi, Eropa dan Amerika kekuatan ekonominya didasari kekuatan politik dan militer. Kita tidak tahu China mungkin pada kekuatan ideologi dan ekonomi, maka Indonesia itu kalau boleh saya beri masukan, janga taken for granted dalam relasi Indonesia-Tiongkok, apalagi memposisikan diri kita sebagai maf’ul bihi (objek). Jadi ini penting. Mungkin saya terlalu berterus terang tapi tidak apa-apa, ini untuk bangsa. Indonesia perlu mengelola relasi ini,” imbuhnya.
Selanjutnya, Haedar berpesan agar Presiden menguatkan posisi dengan Australia dan wilayah Pasifik. Kesempatan G20 yang diikuti oleh negara muslim seperti Saudi dan Turki perlu dimanfaatkan Indonesia untuk mengambil prakarsa menginisiasi perdamaian antar negara-negara Islam yang sedang berkonflik di dunia.*