Hidayatullah.com– Mencuatnya dua jenis suplemen makanan yang terbukti mengandung DNA babi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memerintahkan produsen obat yang bersangkutan untuk menghentikan produksi obat merek tersebut dan menariknya dari pasaran.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, sebagai tindakan antisipasi, langkah BPOM tersebut adalah hal yang seharusnya dilakukan.
Namun, apakah hal itu cukup melindungi konsumen, dan bagaimana pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen yang telah menjadi korban mengonsumsi kedua jenis suplemen dimaksud?
Baca: Viostin DS dan Enzyplex Mengandung DNA Babi, Instruksi BPOM: Setop Produksi
Oleh karena itu, YLKI mendesak BPOM untuk melakukan tindakan yang lebih luas dan komprehensif atas kasus tersebut. Yakni, pertama, melakukan audit komprehensif terhadap seluruh proses pembuatan dari semua merek obat yang diproduksi oleh kedua produsen farmasi dimaksud.
“Hal yang rasional jika potensi merek obat yang lain dari kedua produsen itu juga terkontaminasi DNA babi. Audit komprehensif sangat penting untuk memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen, khususnya konsumen Muslim. Sebab berdasar UU Jaminan Produk Halal, proses produksi dan konten obat harus bersertifikat halal,” ujar Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam siaran persnya diterima hidayatullah.com di Jakarta, Jumat (02/02/2018).
YLKI, kata Tulus, mendesak PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories, produsen kedua suplemen ber-DNA babi itu, untuk meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia akibat keteledoran dan atau kesengajaannya memasukkan DNA babi yang sangat merugikan konsumen.
Baca: BPOM: Suplemen Makanan Mengandung DNA Babi Sudah Ditarik
“YLKI juga mendesak kepada kedua produsen untuk memberikan kompensasi kepada konsumen yang telah mengonsumsi obat tersebut, minimal mengembalikan sejumlah uang kepada konsumen sesuai nilai pembeliannya,” tambahnya.
Kemudian, YLKI juga mendesak BPOM untuk memberikan sanksi yang lebih tegas dan keras kepada kedua produsen farmasi tersebut, karena telah banyak melanggar UU, baik UU Perlindungan Konsumen, UU Jaminan Produk Halal, dan regulasi lainnya.*