Hidayatullah.com– Pemerintah diminta mengamandemen Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Hal ini mengemuka pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Indonesia Halal Watch (IHW) di Hotel Sofyan Cut Meutia, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah menilai pasal tersebut sudah kadaluarsa. Pada pasal itu mengamanatkan pemerintah harus menerbitkan PP sebagai peraturan pelaksana maksimal dua tahun setelah UU JPH ini disahkan. UU JPH disahkan pada 17 Oktober 2014.
“Seperti diketahui, UU JPH ini diketok pada 2014 saat masa akhir Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono menjabat. Tetapi hingga sekarang PP belum ada. Padahal PP harus terbit dua tahun setelah UU disahkan. Jelas pasal 65 ini sudah kadaluarsa, karena sudah lebih dari dua tahun PP tidak kunjung terbit. Semestinya PP selesai pada 17 Oktober 2017,” ungkap Ikhsan kutip laman resmi LPPOM MUI, Kamis (13/09/2018).
Baca: Pengalaman Unik Saat Pengurusan Sertifikat Halal LPPOM MUI
Ikhsan melanjutkan, pemerintah harus segera mengamandemen pasal 65 UU JPH untuk dapat menerbitkan PP sebagai Peraturan Pelaksanaan. Karena jika PP diterbitkan tanpa mengamandemen pasal 65, maka pemerintah dapat dianggap melanggar ketentuan UU JPH.
Belum adanya PP ini kemudian berpengaruh dengan tidak berfungsinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sehingga sampai saat ini BPJPH belum dapat menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal dari dunia usaha, baik dari segi administrasi, tarif maupun sistemnya.
Dikatakan Ikhsan, sampai saat ini belum ada satupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang lahir dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI, seperti yang disyaratkan oleh UU JPH. Karena syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki minimal 3 orang auditor halal yang telah memperoleh sertifikasi dari MUI.
Baca: Halal Watch: Jaminan Produk Halal Mendesak Diberlakukan
“BPJPH dan MUI belum dapat merumuskan standar akreditasi bagi LPH dan standardisasi untuk sertifikasi auditor halal, karena belum dilakukan perjanjian kerja sama (PKS BPJPH – MUI),” ujar Ikhsan.
Ikhsan juga mendorong pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan edukasi terkait sertifikasi halal secara masif. Hal ini diperlukan mengingat wajib sertifikasi (mandatory) akan dimulai pada Oktober 2019.
“Karena apabila sampai batas waktu mandatory sertifikasi dan produk mereka belum bersertifikasi halal, maka akan terkena sanksi berupa denda maupun sanksi pidana sekaligus sebagaimana Pasal 56 dan 57 UU JPH,” ujar Ikhsan.
Ikhsan mengungkapkan, UU JPH ini sangat mendesak untuk segera diterapkan, guna membendung serbuan produk impor.
“UU JPH dapat dipergunakan sebagai ketentuan non-tarif barrier atau proteksi bagi produk impor sehingga dapat membendung secara selektif masuknya produk impor ke dalam negeri, sekaligus menjadikan UUJPH sebagai instrumen bagi penguatan rupiah terhadap dollar,” kata Ikhsan.
Belum berfungsinya BPJPH ini jangan sampai merugikan dunia usaha. Maka dijelaskan Ikhsan, sesuai dengan Pasal 59 dan Pasal 60 UU JPH, maka MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang sertifikasi halal sampai dengan BPJPH berfungsi dengan perangkat kelengkapannya.
“Tidak boleh ada keraguan bagi dunia usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal,” tegas Ikhsan.
Baca: Penjaminan Produk Halal dan Thayib, BPOM-BPJPH Siap Bekerja Sama
Sementara itu, Kepala BPJPH Sukoso yang juga hadir pada FGD IHW, Rabu (12/09/2018) itu, mengaku jika pemerintah tengah mempercepat terbitnya Rancangan Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal.
Sukoso mengatakan RPP ini tengah dibahas oleh kementerian terkait, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Dikatakan Sukoso, lembaga yang dipimpinnya ini memang belum dapat berfungsi sebelum PP keluar. Namun, Sukoso membantah jika BPJPH tidak bekerja.*