Hidayatullah.com | “KULKAS cap halal, cat juga halal, panci teflon, sandal halal. Terus apa barang-barang itu ada yang mau makan?” Kicauan itu ditulis salah satu akun di Twitter.
Twit itu bermula dari “keributan” tentang panci teflon. Loh?
Beberapa waktu lalu, tiba-tiba panci teflon menjadi viral di media sosial. Saking hebohnya, bahkan salah seorang aktivis yang dikenal sebagai tokoh liberalisme ikut menyinggung panci teflon di akun medsosnya.
Semua itu diduga “dipicu” beredarnya sebuah foto di jagat maya. Dalam foto itu, terlihat gambar panci teflon yang berlabel sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Sontak saja, timbul berbagai tanggapan dari berbagai pihak, termasuk yang mempertanyakan, mengapa panci teflon saja harus disertifikasi halal? Reaksi warganet memang cukup beragam.
Tak pelak, LPPOM MUI selaku pihak yang mengeluarkan sertifikat halal tersebut mendapat kritikan. Pada salah satu grup WhatsApp yang diikuti awak media ini, sempat terjadi perdebatan perihal penerbitan sertifikat halal pada barang seperti panci teflon itu.
“Kalau teflon itu 100 persen dari logam dan plastik untuk gagangnya, ngapain juga dilayani sertifikasi halalnya?” tulis salah seorang anggota grup WA, pertengahan September 2020, yang tampaknya kontra terhadap sertifikat halal itu.
Pada sisi lain, banyak pula yang mencoba menjelaskan mengapa barang seperti panci teflon pun disertifikasi halal.
“Siapa bilang teflon enggak potensi terpapar barang dan zat haram?” tulis anggota grup lainnya menimpali, sebagai pendukung sertifikasi halal.
“Teflon kan bersentuhan dengan makanan. Maka perlu disertifikasi halal,” ujarnya juga.
Pihak yang kontra tadi lalu menampik, “Kalau sebuah (panci) teflon enggak mengandung unsur hewan, ngapain juga disertifikasi halal?”
Dalam menengahi polemik itu, tentu harus diketahui dengan jelas duduk perkaranya. Pada suatu kesempatan, Direktur LPPOM MUI, Dr Lukmanul Hakim, menjelaskan, sebenarnya lingkup LPPOM terkait halal adalah Pangan, Obat, dan Kosmetika.
Oleh karena itu, tatkala ada produsen yang datang ke LPPOM MUI untuk meminta produknya disertifikasi halal, LPPOM MUI “menolak” karena alasan tertentu. Akan tetapi, produsen tersebut justru bersikukuh mau disertifikasi halal karena harus menjawab mungkin permintaan atau tuntutan konsumennya.
“Misal seperti (produk) makanan kucing, kita sudah menolak (mensertifikasi halal), tapi kan karena permintaan konsumennya, kalau kami dimintai masa kami tolak. Sementara dia fungsi pasarnya ada.
Termasuk itu juga tadi seperti lemari es, alat-alat dapurlah, kita juga sudah menolak (mensertifikasi halal), cuma mereka dituntut sehingga mereka seolah-olah ada pertanyaan dari konsumen, ‘Ini halal apa tidak? Ini boleh atau tidak?’ Ya kami (LPPOM MUI) harus proses,” jelas Lukmanul Hakim kepada Suara Hidayatullah – hidayatullah.com beberapa waktu lalu.
Lukmanul Hakim menekankan, layanan sertifikasi halal yang dilakukan LPPOM MUI kepada produk-produk seperti kulkas dan alat-alat dapur lainnya itu atas permintaan konsumennya.
“Jadi bukan kami yang proaktif, tapi mereka yang datang kepada kami, mereka bertanya kami harus jawab,” jelasnya.
Baca: Waspada Bahan Bersumber dari Babi, Cermati Titik Kritis Kehalalan Cangkang Kapsul
Letak Titik Kritis Haramnya
Sebelumnya, Lukmanul Hakim mengakui, dalam beberapa tahun belakangan, permintaan sertifikasi halal di LPPOM MUI semakin bervariasi, bukan cuma meningkat. Termasuk sertifikasi halal untuk produk barang gunaan -istilah untuk produk selain makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan-, yang terus bertambah setiap tahun.
Sertifikasi halal, katanya, telah menjadi salah satu kekuatan daya saing bagi produsen, termasuk para produsen barang gunaan yang semakin peduli akan jaminan kehalalan produk mereka.
Berdasarkan catatan Jurnal Halal, kecenderungan produsen untuk mengajukan sertifikasi halal ke MUI untuk produk barang gunaan, sejatinya sudah ada sejak tahun 2010 lalu.
Sebagai contoh, pada November 2010, MUI pernah menerbitkan sertifikasi halal untuk produk alat khitan buatan China. Padahal, jika dilihat dari produk dan bahan dasarnya, alat khitan yang terbuat dari sintetis itu memang tidak punya titik kritis haram ataupun najis.
Akan tetapi, karena produk itu diimpor dari China dan dipakai oleh kaum Muslimin, maka pihak produsen atau importir tampaknya mau meyakinkan konsumen bahwa produknya bebas dari paparan barang haram ataupun najis.
Menurut data LPPOM MUI, hingga Oktober 2019 saja sudah ada ratusan jenis produk barang gunaan yang mengantongi sertifikat halal. Antara lain, alas lantai atau karpet dan sajadah, yang diproduksi PT Belindo International Carpets. Ada beberapa merek dan vairan, antara lain merek Genesis, Portofindo, dan Shafira untuk alas lantai serta Al Imam untuk sajadah dan karpet mushalla.
Selain itu, ada juga cat tembok merek Maritex yang diproduksi oleh PT Rajawali Hiyoto, pelembut pakaian Downey, popok dewasa Do Care, sampai tinta Pemilu yang diproduksi oleh beberapa perusahaan. Ada pula kertas khusus untuk Al-Qur’an, sampai tutup botol minuman hingga plastik kemasan.
Lalu dimana titik kritis haramnya? Wakil Direktur LPPOM MUI Bidang Auditing dan Sistem Jaminan Halal saat itu, Ir Muti Arintawati, menjelaskan, walaupun tak masuk ke dalam tubuh seperti halnya makanan atau minuman, kandungan bahan pada produk barang gunaan tetap harus dicermati kehalalannya.
Sebab, kalau bahan-bahan itu mengandung najis atau haram, maka saat bersentuhan dengan makanan akan membuat makanan itu tercemar barang najis sehingga menjadi haram dikonsumsi.
Misalnya lemari pendingin (kulkas). Kata Muti Arintawati, berdasarkan pengkajian dan proses audit, ditemukan beberapa komponen dalam kulkas terbuat dari campuran bahan yang menggunakan unsur dari turunan asam lemak. Unsur asam lemak adalah bahan yang kritis dari sisi kehalalannya.
“Karena asam lemak itu dapat berasal dari bahan hewani dan nabati, maka harus dipastikan bahwa bahan itu bukan dari turunan bahan haram dan najis,” kata Muti dikutip dari website resmi MUI.
Baca: IHW: Vaksin Covid-19 Harus Bersertifikat Halal dari MUI
Bisa Berasal dari Lemak Babi
Sedangkan menurut Ketua Komisi Fatwa MUI periode 2015-2020, Prof Hasanuddin AF, ketentuan halal pada kaidah syariah tak terbatas dalam aspek konsumsi, tapi juga mencakup aspek yang sangat luas, yaitu menggunakan ataupun memakai.
Terkait kulkas, katanya, sebagai salah satu tempat untuk menyimpan makanan yang akan dikonsumsi, barang itu harus diyakini kesuciannya. Bahan-bahannya tidak boleh tercampur dengan material yang haram, yang akan berpengaruh terhadap kehalalan produk pangan yang disimpan di dalamnya.
Kaidah yang sama pun berlaku terhadap wajan atau alat memasak serta produk barang gunaan sejenis lainnya, termasuk panci teflon tentunya. Titik kritis haram pada produk penggorengan terletak pada bahan pelapis, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya lengket atau berkarat pada permukaan besi.
Pelapisan ini adalah proses perubahan minyak/lemak menjadi bentuk polimer akibat suhu tinggi dan membentuk lapisan tipis. Bahan utama pelapisan berasal dari minyak atau lemak padat.
Pelapisan dilakukan secara berulang-ulang hingga permukaan wajan menjadi hitam, licin, dan mengilat. Sehingga, permukaan wajan tidak akan lengket dan tak gampang berkarat. Nah, bahan pelapisan yang berasal dari lemak bisa berasal dari lemak hewan maupun nabati. Artinya, lemak padat dari hewani tersebut bisa berasal dari lemak babi yang jelas keharamannya.*
- Artikel ini dimuat Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2020, dimuat hidayatullah.com dengan penyesuaian redaksi. Baca ulasan “Vaksin Covid-19 Harus Halal dan Thayyib!” pada Suara Hidayatullah edisi Januari 2021