Hidayatullah.com–Saat ini kehadiran gadget di tengah kehidupan masyarakat memang tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini ditambah lagi dengan hadirnya smartphone atau ponsel pintar yang murah dan berkualitas di pasaran sehingga dapat terjangkau lapisan masyarakat bawah sekalipun.
Kehadiran teknologi pasti selalu membawa dampak baik positif namun juga negatifnya. Dampak positifnya hidup menjadi semakin dimudahkan khususnya arus informasi dan komunikasi sementara dampak negatifnya akan berpengaruh pada kehidupan sosial,budaya bahkan karakter sang pengguna jika dilakukan secara berlebihan.
Khusus bagi anak-anak dan remaja, kehadiran dari gadget ini perlu diwaspadai bagi para orangtua karena ketika anak sudah mengalami kecanduan akan gadget maka susah untuk dihilangkan bahkan bisa menjadi adiksi.
Demikian paparan ahli neurosains, Dr.Tauhid Nur Azhar,S.Ked,M.Kes. dalam seminar “GADGET Ganguan Dalam Genggaman Teknologi, Adiksi Gadget Dari Sudut Pandang Neuroscience” di aula Unisba belum lama ini.
Menjawab pertanyaan mengapa otak bisa kecanduan bahkan adiksi terhadap gadget, Tauhid menjelaskan bahwa gadget yang didominasi perangkat elektronik (seluler multimedia) akan memberikan stimulus hampir pada semua organ indrawi baik mata,pendengaran,perasaan,syaraf hingga emosi seseorang).
Proses stimulus melalui konsep sensoris menuju pathway di otak akan memunculkan reaksi yang bisa menimbulkan aksi atau tindakan nyata.
“Pada saat kita menonton atau melihat sesuatu khususnya didunia virtual lewat gadget, otak akan berusaha mencernaya di dalam bagian yang dinamakan hippocamus. Bagian otak ini berfungsi untuk menyimpan informasi dan berusaha mengeluarkannya kembali ketika diperlukan. Tapi apa yang terjadi ketika pada saat yang sama kita memainkan gadget ?. Informasi yang seharusnya diolah di dalam hippocamus bakal teralihkan ke bagian otak yang disebut striatum. Bagian otak ini sendiri befungsi dalam perencanaan dan motivasi, bukan untuk menyimpan suatu informasi,”jelasnya.
Jika, proses tersebut berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama maka proses “ketagihan” tersebut akan terbentuk dengan sendiri dan tersimpang dalam memori serta akan terpanggil keluar jika ada pemicunya atau keinginan.
Tauhid memberi contoh misalnya anak yang telah kecanduan game atau komunikasi sosial lewat dunia maya,ia (pelaku) sudah merasa nyaman,bahagia dan menemukan kesenangan dunia lewat hal tersebut sehingga anak akan kehilangan “dunia” jika ia tidak dapat berintekasi atau memegang gadget hanya dalam beberapa waktu saja.Proses kecanduan atau adiksi terhadap gadget sendiri bukan bukan proses yang spontan melaikan melalui pengulangan secara kontinu dalam jangka waktu tertentu.
“Mungkin dalam beberapa kali pemakaian gadget, anak langsung menimbulkan kecanduan tapi ada butuh lebih lama lagi baru bisa timbul atau malah sebaliknya tidak terjadi apa-apa. Hal ini tergantung dalam merespon awal kedalam otak dalam menangkap informasi yang di”tularkan”lewat gadget. Sebenarnya kecanduan gadget bukan hanya melanda anak tapi orangtua juga,”ujarnya sambil memberikan beberapa contoh.
Dalam penjelasannya ia menggambarkan bahwa jalur-jalur sirkuit neuronal fungsional yang terjadi pada saat ada stimulus pada system indra yang akan direspon oleh otak. Menurutnya respon dan aksi yang akan dilakukan ditentukan oleh pertimbangan di area otak terkait.
Sementara memori yang berpadu dgn sistem pengendalian emosi pada gilirannya akan “mengetuk” sistem pengambilan keputusan di Prefrontal cortex yang juga mendapat “desakan” dari sirkuit neuronal dan neurotransmiter di reward and pleasure center. Jika adiksi menghadirkan sensasi yang “diinginkan” maka tentu berhubungan reward anticipation dan pleasure center.
Namun demikian menurutnya sejatinya teknologi termasuk gadget pada dasarnya ada manfaat positifnya yang bisa diambil termasuk anak-anak. Pemanfaatkan gadget oleh anak-anak tentunya harus melalui bimbingan dan arahan orangtua. Karena pada anak-anak keingintahuan dalam segala hal lebih besar,maka langkah bijak orangtua adalah memberikan arahan. Sementara larangan atau menjauhkan gadget dari anak bukanlah solusi tepat jika tanpa pemahaman yang memadai. Larangan pada anak hanya akan menimbulkan rasa kepenasaran yang besar dan bisa mencari tahu lewat cara atau jalan yang salah.*