Hidayatullah.com– Penggusuran permukiman di bantaran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan diliputi kesedihan mendalam bagi para korban.
Segenap warga Bukit Duri yang rumahnya digusur membuncahkan emosi mereka. Tak peduli pria atau wanita, orang dewasa atau anak kecil, tua pun muda, larut dalam kesedihan.
Seorang pria korban penggusuran tampak menahan kegetirannya dengan menutup sebagian wajahnya.
Rambut kribonya dipenuhi debu dari bongkaran rumah warga yang baru saja dihancurkan alat berat di depan matanya.
Sebagian wanita menangis histeris sejadi-jadinya sambil menatap satu demi satu rumah yang diluluhlantakkan.
“Rumahkuuu! Rumahkuuu!” raungnya berkali-kali, Rabu (28/09/2016) pagi itu.
Raut wajah seorang bocah tampak turut sedih saat digendong ayahnya menjauhi deretan rumah-rumah yang digusur. [Baca juga: Bukit Duri Digusur, Warga Mengaku Tidak Akan Pilih Ahok]
Dari tatapannya, wanita berjilbab ini tampak mencoba tegar meskipun kontras dengan kristal bening yang mengalir di pipi kanannya.
Puluhan warga lainnya istiqomah menyuarakan aksi penolakan atas penggusuran oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang gubernurnya masih Ahok alias Basuki Thahaja Purnama.
Seorang anggota komunitas Sanggar Ciliwung Merdeka, yang terus memukul-mukul ember besar dalam aksi damai itu, sejenak menundukkan wajahnya bersama tetesan air mata yang membulir.
“Bukit Duri Berduka!” teriakan bisu rakyat Indonesia penghuni Bukit Duri melalui tulisan spidol hitam pada bendera kuning –pertanda kematian– yang dipasang di teras rumah.
Pada hari duka itu, penggusuran yang berlangsung selama sekitar pukul 07.00-11.30 WIB ini diteriaki segenap rakyat dengan seruan #SaveBukitDuri di jagat media sosial. Tanda pagar itu pun menjadi trending topic twitter dari pagi hingga jelang sore.
“‘Mengapa mesti kami menjadi pengungsi di negeri sendiri,’ lagu air mata doa pak sandyawan #savebukitduri,” kicau akun JJ Rizal @JJRizal menyebut nama pendiri Sanggar Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi.
Ya, warga korban penggusuran terpaksa mengungsi ke “pengungsian” masing-masing. “Sementara ngontrak dulu di Kampung Melayu,” ujar Jufri (41) usai penggusuran.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pria korban penggusuran ini terlihat mencoba untuk tidak menangis. Raut wajahnya seperti dipaksa-paksa untuk senyum saat ditemui hidayatullah.com. Tapi ia memastikan, “Memang sedih saya,” ujarnya.
“Sekarang mau gimana lagi,” lirihnya di sela-sela mencari paku dan sisa-sisa penggusuran lainnya.
Rumah Jufri dan ratusan lainnya telah rata, bersama suara-suara tangisan yang ikut tergusur oleh sebuah kebijakan. [Baca juga: Bukit Duri dan Pembangunan yang Menerkam]*