PASOKAN senjata ke Suriah untuk mendukung oposisi menghadapi pasukan rezim Bashar Assad memang sudah berlangsung sejak dua tahun belakangan ini tanpa legitimasi baik dari Liga Arab maupun PBB. Meskipun demikian, oposisi kelihatannya masih kesulitan mengimbangi pasukan rezim yang terus disuplai pasokan senjata canggih dari sekutunya terutama Iran dan Rusia.
Karena masuknya senjata secara ilegal alias lewat penyelundupan, maka agak kesulitan bagi pasukan oposisi terutama al-Jeish al-Hurr (Tentara Kebebasan) untuk mendapatkan senjata canggih. Seandainya berhasil menyelundupkan senjata canggih masih ada kendala lain lagi yang tak kalah pelik yakni SDM yang dapat menggunakan senjata tersebut.
Namun dengan keputusan Liga Arab, pekan lalu yang membolehkan negara-negara sekitar menfasilitasi masuknya senjata ke Suriah untuk mendukung oposisi melawan rezim maka negeri itu memasuki babak baru. Keputusan Liga ini merupakan keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk suatu kasus yang sama seperti krisis Suriah saat ini, sejak badan regional ini berdiri pada 22 Maret 1945.
Dengan keputusan tersebut maka Liga Arab telah memberikan payung hukum (legitimasi) bagi kelanjutan pasokan senjata kepada kubu revolusi Suriah dan mendukung secara resmi pelengseran rezim Assad dengan kekuatan senjata sehingga memberikan peluang bagi kubu revolusi untuk mengatur strategi lebih kuat untuk mencapai target menjatuhkan rezim. Itulah gambaran umum, tujuan dari keputusan badan tersebut meskipun pelaksanaan di lapangan nanti bisa berbeda.
Kemudian bila melihat format keputusan badan regional Arab itu, negara-negara sekitar Suriah disebutkan secara umum dan dengan format jamak yang berarti menyangkut lima negara yakni Iraq, Israel, Libanon, Turki dan Yordania. Namun pada kenyataannya hanya dua negara saja yang dimaksud yakni Turki dan Yordania sebab Libanon dan Iraq secara resmi masih mendukung rezim, sedangkan Israel lebih sebagai “penonton“.
Bagi sejumlah pengamat dan analis militer Arab melihat bahwa keputusan tersebut lebih dari sekedar penerapan nilai hukum karena maksud tersiratnya adalah untuk memberikan senjata canggih yang dapat mengimbangi pasukan rezim. “Kita akan melihat dalam waktu dekat pasokan senjata lebih banyak dan lebih canggih ke tangan 100 ribu lebih petempur kubu revolusi,“ papar seorang pengamat Arab.
Sebagian lainnya menyebutkan, seandainya keputusan tersebut dikeluarkan sejak dini tentunya akan meminimalkan jumlah petempur yang dicurigai sebagai kelompok radikal. Lambatnya keputusan seperti ini telah merugikan kubu revolusi yang lebih berhak mendapatkan bantuan karena memiliki proyek nasional yang jelas dibandingkan kelompok-kelompok yang sulit diatur tersebut.
Secara politis Liga Arab hingga saat ini masih menolak kubu revolusi mengisi kursi Suriah yang kosong sejak negeri itu ditangguhkan keanggotaannya, dengan alasan oposisi belum mewakili eksistensi negara. Namun keputusan membolehkan pasokan senjata adalah sebagai dukungan militer yang mungkin jauh lebih dibutuhkan kubu revolusi dibandingkan dukungan politik yang selama ini belum membuahkan hasil yang diinginkan mayoritas rakyat negeri itu.
“Ibaratnya, satu tangan liga Arab menolak kubu oposisi mengisi kursi Suriah yang kosong, namun satu tangan lainnya membolehkan masuknya senjata untuk mendukung mereka. Sejatinya, kursi tersebut tidak terlalu penting, sebab lebih penting adalah senjata untuk mempercepat waktu (kejatuhan rezim) dan menghentikan penderitaan,” papar sejumlah analis Arab.
Tentunya berdasarkan penilaian diatas, dengan dibolehkannya negara-negara sekitar menfasilitasi pasokan senjata ke kubu revolusi maka akan segera dapat dilihat perubahan besar di medan pertempuran. Kargo-kargo senjata dari manca negara telah siap disalurkan ke Suriah sehingga diduga akan memberikan keuntungan besar bagi kubu revolusi untuk melakukan serangan menentukan.
Tanpa keunggulan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keputusan Liga Arab itu, masih akan menemui banyak permasalahan dalam penerapan di lapangan seperti kemampuan menggunakan senjata dan kemampuan Tentara Kebebasan memonitor kelompok-kelompok yang ikut berperang melawan rezim. Terdapat puluhan kelompok bersenjata yang dianggap sulit diatur dan melakukan aksi sendiri-sendiri karena menolak berada dibawah komanda Tentara Kebebasan.
Untuk permasalahan pertama, kemungkinan dua negara tetangga (Turki dan Yordania) dapat membantu memberikan instruktur militer dan pelatihan di kamp-kamp perbatasan kepada petempur-petempur kubu revolusi. Adapun masalah kedua ini yang pelik dan sulit diprediksi karena apabila ada senjata canggih yang jatuh ke tangan kelompok yang dianggap radikal oleh Barat, sudah cukup sebagai alasan untuk menghentikan pengiriman nantinya.
Sebagaimana diketahui, keterlibatan sejumlah kelompok yang dianggap radikal dalam perang melawan rezim itu sebagai alasan utama mengapa Barat setengah hati mendukung pengiriman senjata kepada kubu revolusi meskipun sejumlah negara Arab terkemuka sejak dini telah mengisyaratkan pentingnya bantuan militer dimaksud. Rezim Assad sendiri selalu memanfaatkan keberadaan mereka untuk menakut-nakuti Barat bahwa mereka akan berkuasa bila rezimnya jatuh.
Padahal banyak pihak baik di dalam maupun luar Suriah, menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang dianggap radikal terutama yang dicurigai sebagai al-Qaidah hanya segelintir. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa gerakan al-Qaidah selalu memanfaatkan kekacauan di suatu negara sebagai lahan subur untuk memperluas basisnya, sebut saja misalnya dalam dua tahun belakangan ini di Yaman dan Mali seperti halnya di Afganistan dan Iraq sebelumnya.
Namun bagi penulis sendiri, keputusan Liga Arab yang sudah sangat terlambat itu, seperti kata pepatah ibarat pedang bermata dua karena disatu sisi akan memberikan kekuatan lebih bagi kubu revolusi menghadapi pasukan rezim. Namun di sisi lain, akan menciptakan perang besar yang akan meluluhlantahkan negeri itu dengan korban jiwa dan harta yang bertambah dahsyat.
Sejumlah analis Arab mengistilahkannya al-ma`rokatul kubro (perang besar) sudah menanti antara dua musuh yakni Tentara Kebebasan dan pasukan rezim yang memiliki kekuatan yang hampir sama tanpa keunggulan satu kekuatan atas kekuatan lainnya. Masyarakat internasional akan disuguhi “dialog senjata” antara dua kekuatan berimbang yang sulit diprediksi pemenangnya mengingat keduanya memiliki pendukung masing-masing.
Istilah tersebut kelihatannya banyak benarnya mengingat selama dua tahun belakangan ini terjadi perang kecil di berbagai penjuru negeri itu dengan keunggulan senjata berada di pihak pasukan rezim. Sedangkan keunggulan kubu revolusi selain semangat juang adalah dukungan mayoritas rakyat dan masyarakat internasional.
Sementara menunggu al-ma`rokatul kubro itu, dilaporkan bahwa pasukan rezim berusaha mengantisipasinya dengan cara menguasai kembali sejumlah wilayah yang sempat direbut oleh kubu revolusi. Bahkan sebagian pihak menyebutkan bahwa pasukan rezim yang tetap setia kepada Assad siap bertempur hingga titik darah penghabisan.
Dan tidak menutup kemungkinan sekutu Assad seperti Hizbullah di Libanon dan pasukan Pasdaran (Garda Revolusi Iran) akan terlibat langsung dalam perang besar yang mengerikan tersebut. Meskipun demikian, mayoritas rakyat negeri itu yang Sunni, tampaknya tidak peduli lagi terhadap berapapun pengorbanan yang akan mereka persembahkan demi perubahan.
Setelah 50 tahun Partai Ba`ath berkuasa dengan tangan besi, banyak pihak di Arab yang menilai bahwa sudah tiba saatnya partai ini berakhir. “Sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang masa depan Partai Ba`ath. Tapi pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap Iran menghadapi kekalahan yang sudah pasti ini,“ papar seorang analis Arab, dalam tulisannya, Rabu (6/3).
Solusi militer
Paling tidak, keputusan Liga Arab tersebut semakin memperkuat dugaan sebelumnya bahwa solusi militer merupakan opsi paling menonjol bagi krisis Suriah pada 2013. Adapun pernyataan sejumlah petinggi PBB tentang solusi politis, tampaknya tidak lebih sekedar basa-basi yang sangat sulit dicapai dikarenakan kesenjangan sikap yang sangat lebar antara rezim dengan kubu revolusi.
Dukungan militer setengah hati dari Barat terhadap oposisi sejauh ini bisa dimanfaatkan rezim Assad untuk bernafas panjang. Bila keputusan Liga Arab tersebut didukung oleh negara-negara “Ashdiqa Suriah” (para sahabat Suriah) yakni negara-negara pendukung perubahan di Suriah, maka besar kemungkinan Assad akan jatuh sebelum masa jabatannya berakhir pada 2014.
Hanya resikonya sebagaimana disebutkan sebelumnya yakni genangan darah akibat korban jiwa akan semakin mengerikan setelah lebih dari 90 ribu jiwa gugur dalam dua tahun krisis negeri itu. Kemampuan rakyat negeri Syam itu bertahan menghadapi teror rezim, tampaknya sebagai senjata ampuh bagi oposisi untuk melaksanakan tugas merampungkan perubahan sebagaimana yang diinginkan rakyat.
Oposisi juga merasa bahwa setelah dua tahun berperang dengan pengorbanan yang luar biasa, tidak ada gunanya lagi penyelesaian politik setelah mereka merasa semakin dekat menuju kemenangan ditambah lagi dengan keputusan Liga Arab tersebut. Di lain pihak, rezim Assad tidak ragu-ragu untuk meneruskan petualangan militernya dengan korban sebanyak apapun demi melanggengkan kekuasaan.
Alhasil, Liga Arab dengan keputusannya tersebut ibaratnya telah memberikan kepada rakyat Suriah harapan lebih riil dan dukungan nyata secara militer sehingga bertambah besar harapan mereka untuk segera menyusul negara-negara Arab lainnya yang telah merampungkan revolusi Arab Spring. Meskipun demikian, tetap tidak mudah untuk mewujudkan harapan tersebut, sebab mereka berhadapan dengan rezim yang tidak peduli dengan rakyat yang akan dikorbankan sebanyak apapun, karena yang terpenting baginya adalah langgengnya kekuasaan.*/Sana`a, 27 R. Thani 1434 H
Kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman