Hidayatullah.com– Pemberitaan banyak media yang menyebut bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menyiapkan fatwa haram terhadap Netflix dipastikan hoax alias berita bohong.
Sebagaimana diketahui, polemik lama antara Telkom Group dan Kominfo dengan Netflix terkait pemblokiran konten, tiba-tiba bergeser ke MUI.
Pasalnya, sejumlah media arus utama mencatut nama Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, Prof Dr KH Hasanuddin AF dan menyebutnya MUI akan mengeluarkan fatwa haram Netflix.
Komisi Fatwa MUI menegaskan bahwa MUI belum pernah dan tidak ada rencana membahas tentang platform digital penyedia jasa layanan konten, termasuk Netflix, apalagi menetapkan fatwa.
Komisi Fatwa MUI membantah pemberitaan yang menyebutkan seolah-olah MUI telah menetapkan fatwa haram Netflix.
“Semua pemberitaan itu tidak benar,” Prof Hasanuddin menegaskan dalam rilisnya diterima hidayatullah.com Jakarta, Jumat (24/01/2020).
Baca: MUI Belum Pernah Bahas Fatwa Netflix, Tapi Ingatkan Tak Boleh Konten Terlarang
Hasanuddin menjelaskan bahwa MUI belum pernah membahas tentang platform digital penyedia jasa layanan, termasuk Netflix yang belakangan diributkan.
“Juga kami tidak ada rencana untuk membahasnya karena kami telah memiliki fatwa yang komprehensif tentang bermuamalah melalui media sosial,” jelasnya.
Dalam fatwa tentang bermuamalah melalui media sosial itu, telah dijelaskan mana yang boleh dan yang tidak boleh dalam bermuamalah lewat medsos.
“Masyarakat, termasuk platform digital penyedia jasa layanan konten seharusnya memedomani fatwa tersebut agar tidak menimbulkan masalah di masyarakat,” tegasnya.
Terkait penyedia layanan melakukan pelanggaran terhadap penyediaan konten yang terlarang, MUI menyatakan bahwa kewajiban aparatlah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum bagi pelanggar, untuk melindungi masyarakat.
“Pelanggaran terhadap penyediaan konten terlarang menjadi domain aparat hukum. Mereka wajib mencegah dan melakukan penegakan hukum bagi yang melanggar,” ujar Hasanuddin.
Ia menjelaskan, fatwa MUI ditetapkan setelah adanya pertanyaan dan pengkajian mendalam mengenai masalah yang akan difatwakan. Kalau terkait dengan disiplin keilmuan tertentu, maka Komisi Fatwa akan mendengar pandangan ahli.
“Terkait dengan konten digital, setiap orang, termasuk pengusaha penyedia jasa digital tidak boleh membuat platform yang menjual, mengedarkan, dan/atau memuat konten terlarang, baik secara hukum maupun menurut pandangan agama,” jelasnya.*