Hidayatullah.com–Pasukan penjajah Israel di Tepi Barat telah menggunakan setidaknya tiga rumah keluarga Palestina sebagai tempat pos militer dalam beberapa bulan terakhir.
Pada 18 April, sekitar pukul setengah 12 malam, selusin tentara Israel mengelilingi sebuah rumah di al-Lubban al-Sharqiya, desa yang bertempat sekitar 13 mil selatan Nablus.
Menurut kesaksian yang diberikan oleh keluarga Draghmeh kepada organisasi HAM Al-Haq sebagaimana dikutip middleeastmonitor.com Senin (25/04/2016) para tentara itu memanjat bagian atas rumah tanpa memberi penjelasan mengapa mereka berada di sana.
Para tentara tersebut meneruskan untuk membuat tenda di atas atap, sekaligus memasang bendera Israel, dan mengubah atap tersebut menjadi pos militer.
Dilaporkan seorang anggota keluarga rumah tersebut, mereka (tentara Israel) sedang berada dalam misi militer, dan mengaku akan pergi setelah misinya selesai.
Para tentara penjajah tersebut tinggal selama tiga hari, berangkat pada tanggal 21 April. Namun tak ada jaminan mereka tidak akan kembali, sebagaimana ditunjukkan oleh kasus-kasus lainnya selama ini.
Pada tanggal 23 Maret lalu, sebagaimana dicatat oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, pasukan Israel juga mengambil alih rumah keluarga Abu Shamleh di desa Ya’bad dekat Jenin, dan “mengubahnya menjadi titik observasi militer.”
Beberapa sumber Palestina mengatakan invasi terhadap properti tersebut berlangsung sengit, termasuk penggunaan bom suara oleh tentara-tentara tersebut.
Pasukan Israel telah berulang kali merampas rumah Abu Shamleh untuk digunakan sebagai pos militer selama lebih dari empat bulan (lihat laporan berita tanggal 20 Desember oleh WAFA), menyebabkan kerusakan properti dan mengintimidasi tiga keluarga yang tinggal di sana, termasuk 19 anak-anak.
Menurut sumber setempat, pemerintah Israel telah meminta Yahya Abu Shamleh untuk memasang lampu sorot di sekitar rumahnya, atas dasar bahwa beberapa orang Palestina diduga melempar batu ke arah kendaraan pemukim dari daerah tersebut.
Tentara penjajah bahkan mengancamnya akan menghancurkan tempat penampungan hewannya jika ia gagal untuk memasang lampu-lampu tersebut.
Terakhir kali tentara itu berada di rumah pada tanggal 15 April, kata Abu Shamleh. Ketika tentara menempati rumahnya, mereka datang setelah sholat maghrib, dan mencegah keluarga tersebut keluar masuk rumah.
Contoh ketiga di mana pasukan Israel mengambil alih sejumlah rumah warga sipil untuk kegiatan militer berasal dari Hebron di mana, pada bulan Desember, tentara mendirikan markas di dalam sebuah rumah, melarang penghuninya untuk naik ke dua lantai atas.
Faktor umum dalam kasus-kasus tersebut di atas adalah dekatnya pemukiman illegal Yahudi tinggal di wilayah penduduk asli, yakni masyarakat Palestina.
Daerah di sekitar Ya’bad, misalnya, memiliki lima koloni ilegal. Oktober lalu, seorang anak Palestina berusia 14 tahun itu diserang oleh para pemukim saat ia sedang memetik zaitun di kebun keluarganya di Ya’bad; menurut laporan berita, para pemukim tersebut datang dari dekat Mevo Dotan.
Sementara itu Al-Lubban al-Sharqiya, juga terkena imbasnya oleh kehadiran pemukim Israel, baik dalam hal perampasan tanah, pembatasan akses ke sumber air, atau serangan kekerasan. Ada tiga koloni di sekitar desa tersebut: Ma’ale Levona, Eli, dan Givat Harel.
Insiden seperti ini – dimana pasukan penjajah Israel menggunakan rumah warga sipil Palestina sebagai pos-pos militer – kejadiannya sebagian besar tidak dilaporkan di pemberitaan media bahasa Inggris di wilayah tersebut.
Namun insiden tersebut adalah gejala dari penjajahan yang sedang berlangsung di mana dengan dalih tugas, militer Israel justru melindungi lebih dari 200 pemukiman illegal bahkan memfasilitasi ekspansi mereka.*/Karina Chaffinch