Hidayatullah–Prihatin dengan laporan demografis pemukiman Yahudi semakin berkurang di Jerusalem (Baitul Maqdis) Timur pada tahun 2045, ‘‘Israel’’ dilaporkan telah memperkuat pendudukan mereka di wilayah tersebut setelah pemerintah baru ‘‘Israel’’ dibentuk, demikian diungkapkan International Crisis Group (ICG) yang berbasis di Brussels dan Jerusalem sebagaimana dikutip Al-Jazeera.
Oleh karena itu, untuk mencegah tren tidak berlanjut, ‘‘Israel’’ dapat mengenakan pajak lebih banyak pada permukiman Palestina di timur yang berbatasan dengan permukiman Yahudi dalam upaya untuk memperkuat pendudukan dan penjajahan Zionis di dekat Jerusalem.
Pemukiman penduduk Palestina, yang merupakan bagian dari ibu kota Jerusalem (Baitul Maqdis) tetapi di luar pembatas Kafr Aqab, Shuafat / Anata, al-Sawahra dan kamp-kamp pengungsi al-Walaja dapat dipindahkan dan ditempatkan di unit-unit terpisah pemerintahan pendudukan ‘‘Israel’’ di luar Jerusalem.
Rencana itu akan dilaksanakan setelah pemerintah ‘‘Israel’’ yang baru dibentuk mengikuti pemilihan Knesset pada 17 September.
Bagi warga Palestina, pengusiran itu akan berisiko menjadi penduduk ‘‘Israel’’ karena mereka seperti warga Palestina lainnya di Tepi Barat yang terjajah yang harus mendapatkan izin untuk memasuki Jerusalem Timur atau ‘‘Israel’’.
Meskipun pembangunan permukiman Yahudi di barat dan timur Jerusalem dan pembatasan pada peningkatan perumahan Palestina, populasi Yahudi terus menurun selama beberapa dekade.
Pada tahun 1967, laporan ICG menemukan bahwa proporsi orang Yahudi dibandingkan dengan Palestina di Jerusalem diperkirakan 74:26, tetapi laporan yang sama tiga tahun lalu menemukan bahwa angka tersebut turun menjadi 62:38.
Pengabaian ‘‘Israel’’ atas Jerusalem Timur gagal mendorong warga Palestina untuk berpisah, dipaksa membayar pajak kota dan hampir tidak menerima layanan kota.
Mengomentari pertumbuhan populasi Palestina, Menteri Urusan Jerusalem, Ze’ev Elkin memperingatkan penduduk kota, menjelang pemilihan kota 2023, kota mungkin tidak memiliki mayoritas etnis Yahudi lagi.
Menurut pakar Baitulmuqaddis, Nadav Shragai, perpajakan akan mengubah rasio demografi daerah tersebut menjadi 69 persen untuk ‘‘Israel’’ Yahudi dan 31 persen Palestina.
Namun, perpajakan di wilayah tersebut dapat menjadi contoh berbahaya, yang menawarkan model bagaimana ‘‘Israel’’ dapat mengatasi sebagian besar Tepi Barat yang diduduki.
Pembongkaran Rumah Palestina
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Palestina dan Kementerian Luar Negeri mengutuk kampanye pembongkaran rumah Palestina di Jerusalem Timur dan daerah sekitarnya oleh ‘‘Israel’’.
Laporan kantor berita Wafa, langkah ‘‘Israel’’ untuk menghancurkan rumah penduduk digambarkan sebagai upaya pemusnahan etnis Palestina dan perang terbuka terhadap penduduk yang bertujuan untuk mengusir mereka dari Jerusalem.
Langkah ‘‘Israel’’ itu diduga telah mengasingkan warga Palestina di Jerusalem dengan Tepi Barat.
Memburuk situasi, masyarakat internasional diam tentang pembongkaran rumah Palestina oleh ‘‘Israel’’.
Kementerian menggambarkan agresi sebagai kejahatan dan ingin menyeret pihak yang bertanggung jawab ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Dalam perkembangan terkait, tentara ‘‘Israel’’ menghancurkan sebuah kompleks perumahan di daerah Jabal Jouhar di Hebron, Tepi Barat menggunakan mesin besar-besaran karena diduga dibangun tanpa izin.
Laporan Wafa, pasukan penjajah didampingi buldoser ke daerah itu dan menghancurkan sebuah bangunan yang berisi empat apartemen dan lantai bawah tanah.
Penduduk setempat mengklaim bahwa izin Palestina untuk membangun rumah tidak pernah disetujui oleh rezim Zionis.
Boikot Konferensi Bahrain
Dalam menyatakan dukungan untuk Palestina, Menteri Luar Negeri Libanon, Gebran Bassil bertindak untuk memboikot konferensi Bahrain yang disponsori AS pada 25 dan 26 Juni.
“Libanon tidak akan bergabung dalam konferensi karena Palestina tidak ada dan kami ingin melihat gambaran sebenarnya dari reklamasi yang diusulkan karena tidak dirujuk pada rencana,” kata Gebran.*