Hidayatullah.com—Bencana bertubi-tubi di bumi pertiwi membuat banyak pihak bertanya-tanya. Ada apa gerangan di bumi tercinta ini? Pertanyaan serupa juga dirasakan Dr Musthafa Umar, doktor dari University Malaya Malaysia. Pria yang setiap bulan melakukan perjalanan dakwah ke Malaysia sering bertanya dalam hati. Apa yang salah dengan kita sehingga bencana sering terjadi.
Menurut pakar tafsir yang aktif berdakwah di Riau dan Malaysia ini, para pemimpin Indonesia mesti mengambil pelajaran dari bencana agarselamat dan sampai ke tujuan yakni ridho Allah SWT.
’’Pemimpin bangsa semestinya sensitif dengan musibah-musibah seperti ini. Mesti lebih sensitif dibanding rakyat biasa,’’ ujar alumni doktoral tafsir dari Universitas Malaya Malaysia Dr Musthafa Umar Lc, MA kepada hidayatullah.com, Jumat (29/10) di Pekanbaru. Inilah petikan wawancara dengan pendakwah yang telah menulis 26 judul buku dan kini sedang menyelesaikan “Tafsir Makrifah” itu dengan koresponden Hidayatullah Riau.
Bagaimana kita harus memahami bencana yang datang dalam waktu yang berdekatan?
Apabila musibah terjadi silih berganti bermakna berkaitan dengan waktu. Allah yang memilih waktunya, Allah tidak letakkan dalam rentang waktu yang jauh, tapi Allah letakkan dalam rentang waktu yang dekat. Pasti ada hikmah di sebaliknya.
Hikmah yang paling besar dari musibah adalah memberikan peringatan kepada manusia. Apabila ditetapkan musibah dalam rentang waktu yang singkat, bermakna peringatan Allah itu bertubi-tubi. Apabila peringatan Allah itu bertubi-tubi, berkesinambungan, maka sepatutnya manusia segera kembali sadar apa yang telah dilakukan selama ini.
Mungkin kita telah melakukan kesilapan yang besar, mungkin juga kesalahan yang fatal, maka Allah ingatkan. Supaya tidak terus berlanjutan kepada kebinasaan yang lebih besar. Akhirnya kita akan menderita semua. Maka semua mesti melihat (bencana) ini sebagai peringatan yang keras dari sisi Allah SWT. Ada pesan yang jelas sehingga kita mengambil sikap yang benar dan tepat dalam menghadapi musibah.
Kalau kita lihat untuk Indonesia. Umpamanya tsunami di Mentawai, Gunung Merapi yang Meletus di Yogjakarta, banjir di Jakarta, kita bisa melihat arah dari musibah itu: tsunami dari bawah ke atas, air laut yang di bawah naik ke atas, yang satu lagi dari atas ke bawah yaitu dari puncak gunung turun ke bawah, yang satu lagi adalah berada di tengah-tengah dan air itu terkurung, ia tidak turun ke muka bumi.
Sepatutnya kita merasa aman dengan alam semesta yang telah Allah tetapkan aturannya, tapi sekarang Allah takdirkan ia menjadi musibah bagi kita. Maka mungkin kita telah banyak melakukan pengrusakan terhadap sistem yang telah Allah tetapkan, maka mestilah kita kembali ke aturan yang asas, supaya kita dapat menjalani semua ini dengan baik. Sekarang kita sudah dikepung. Dari bawah sudah diingatkan, dari atas sudah diingatkan, di tengah-tengah juga sudah diingatkan. Maka kalau tidak juga menerima peringatan, sungguh ini suatu keangkuhan dan kesombongan.
Belajar dari musibah yang dDiceritakan dalam al-Quran, bagaimana kita menyikapi musibah yang terjadi sekarang Ini?
Dalam kisah-kisah kaum terdahulu, Allah tetapkan atas mereka musibah yang bermacam-macam. Ada musibah untuk menguji mereka, ada musibah untuk menyiksa dan mengazab mereka.
Jika berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan, maka ia adalah musibah yang menyiksa, menyengsarakan mereka. Penyelesaiannya adalah dengan bertaubat, memohon ampun, meminta maaf kepada Allah SWT.
Dalam ayat al-Quran disebutkan, karena kesombongan manusia dan karena perbuatan mereka yang selalu merencanakan yang jahat terhadap kebenaran, karena mereka lebih suka mengikuti hawa nafsu daripada mengikuti kehendak Allah, maka tidaklah yang melakukan perbuatan tercela itu melainkan mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya. Tidaklah yang mereka tunggu melainkan berlakunya ketetapan Allah sebagaimana berlaku ketetapan Allah atas kaum-kaum terdahulu.’’
Jadi, jika kita melihat ayat al-Quran kita akan menjumpai bagaimana orang yang dahulu dibinasakan, diazab dengan berbagai macam siksaan. Maka yang sekarang juga begitu, akan dibinasakan dengan tsunami, dengan gempa bumi, dengan gunung meletus, dengan terbenamnya di dalam banjir yang besar. (Itu terjadi) Apabila melakukan perbuatan yang tercela, kemaksiatan dan pelanggaran.
Tapi Allah menyebut ini dengan sunnatullah, ketetapan Allah. Ketetapan Allah itu akan diberlakukan kepada orang terdahulu atau kepada orang sekarang serta akan berlanjut sampai hari kiamat.
Allah tutup dengan menyebut berulang dua kali, berkaitan dengan sunnatullah. “Yang demikian adalah sunatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu.” [QS Al-Fath: 23] Pasti (sunnatullah) itu akan dijalankan seperti itu. Karena yang menjalankannya adalah Allah yang menciptakan alam semesta ini.
Apa pelajaran lain yang kita dapatkan dari bencana yang berturut-turut Ini?
Pelajaran yang paling berharga sebenarnya adalah mengambilnya menjadi peringatan. Apabila kita tidak menjadikannya sebagai peringatan untuk memperbaiki diri maka semua ini menjadi sia-sia. Sebenarnya peringatan itu adalah yang paling berharga. Ada yang mengingatkan kita.
Umpamanya ada alat yang mendeteksi — untuk keselamatan kita — berkaitan dengan kecepatan. Umpamanya bus tidak boleh melebihi kecepatan 80 Km/jam. Apabila bus ini melebihi kecepatan itu maka alat tersebut akan berbunyi, dia memberikan alarm peringatan.
Maka peringatan ketika itu sangat penting, karena peringatan itu yang akan menyelematkan bus ini dengan penumpang yang ramai di dalamnya. Tapi di saat pemimpin bus, yang menentukan jalan bus ini yaitu supirnya tidak mengambil pengajaran, tidak peduli dengan peringatan yang keluar dari alarm ini, maka dialah yang akan mungkin mencampakkan bus ini ke jurang kebinasaan. Dan dia yang mesti dipersalahkan. Sebab dia yang bertanggungjawab atas keselamatan bus.
Apabila kita kaitkan kepada masyarakat, kepada bangsa, maka pemimpin bangsa semestinya mengetahui perkara ini, pemimpin bangsa semestinya sensitif dengan musibah-musibah seperti ini. Mesti lebih sensitif dibanding rakyat biasa.
Tidaklah perkara di alam ini berlaku begitu saja. Sebab yang mengurus alam ini adalah Yang Maha Bijaksana. Pasti dibalik penetapan waktu musibah, pemilihan tempat musibah, pemilihan jenis musibah adalah dengan kebijaksanaan dari Allah.
Ini pengajaran yang sangat berharga. Kalau tidak juga mengambilnya sebagai pengajaran sama seperti supir yang tidak mengambil pelajaran dari alarm yang sudah dibunyikan.
Itu yang harus disikapi?
Ini yang harus disikapi, kalau tidak sama dengan membawa bus ini ke dalam jurang kebinasaan. Sama dengan membawa negara ini kedalam jurang kebinasaan.
Sudah tercatatn, dibinasakannya Kaum nabi Nuh dahulu, Firaun dan tentaranya dahulu, Qorun dan pengikutnya dahulu dan berkelanjutan sampai pada masa Rasulullah seperti kafir Quraisy yang juga dibinasakan. Semua itu, kita tidak mau berlaku pada diri kita, keluarga kita dan bangsa kita.
Ini pelaran sangat berharga dari apa yang berlaku, apabila kita melihat nilai-nilai yang ada dalam agama kita.
Setelah pemimpin dan masyarakat mengambil pelajaran dari peristiwa ini, selanjutnya apa?
Sama seperti bus tadi, setelah berbunyi alarm, tanda ia telah melebihi batas yang dibenarkan. Maka, pertama, ia harus turunkan batas tersebut. Yang Kedua, ia mesti pastikan bahwasanya mungkin jalan itu baik, biasa saja, tidak ada belok. Tetapi satu ketika, mungkin secara tiba-tiba ia menyadari ada yang melintas umpamanya, mungkin ada lubang di hadapannya yang ia tidak tahu, ia mesti berjaga-jaga terhadap kemungkinan yang akan berlaku.
Setelah kita mengambil pengajaran dari musibah, maka kita harus waspada. Untuk waspada, pastikan kita selalu mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, syariat yang telah diturunkan. Memastikan ini bukanlah kerja mudah, sebab memerlukan kesabaran, istiqomah (tetap pendirian). Bukan hanya melipatkan satu-dua golongan tapi melibatkan semua lapisan masyarakat.
Yang kita harapkan adalah tujuan bersama tercapai, seperti bus tadi, tujuan bersama penumpang yang berada di dalamnya adalah selamat dan sampai ke tujuan. Maka begitu juga kita, keinginan kita bersama adalah selamat dan sampai ke tujuan yakni ridho Allah SWT.
Apa yang membedakan orang kafir dan orang beriman dalam memahami suatu Bencana?
Baik, bagi orang kafir mereka tidak melihat hidup ini melalui pandangan keimanan. Kafir disebut kafir karena mereka menutupi yakni menutupi kebenaran. Kebenaran yang paling besar yang mereka tutupi adalah kebenaran Allah sebagai Tuhan yang mengatur dan menguruskan alam semesta.
Kita (orang beriman) menyakini Allah SWT yang mengatur alam semesta. Bahkan ketika apa-apa yang berlaku di alam ini kita kaitkan dengan Allah. Tapi orang kafir, karena keimanan mereka yang tidak ada kepada Allah, mereka tidak kaitkan kepada Allah. Maka apapun yang berlaku tidak menjadi perigatan dan pengajaran.
Tapi bagi kita, ini adalah suatu peringatan dan pengajaran. Bagi orang kafir, (bencana) ini adalah fenomena alam biasa. Hukum alam biasa, memang gunung itu akan meletus, memang gempa bumi itu apabila ia menggegarkan lapisan laut kemudian itu akan tumpah ke darat, memang kalau kita tidak buat saluran yang bagus, maka kita akan terperangkap dalam banjir. Mereka melihatnya hanya sebagai hukum sebab akibat begitu saja.
Memang di alam ini berjalan hukum sebab akibat, tapi kita mesti memahami ada satu hukum selain hukum sebab akibat yaitu hukum kuasa mutlak Allah SWT. Dalam Islam, hukum sebab akibat itupun berjalan dengan kuasa mutlak Allah. Ada yang sudah ada sebabnya tapi tidak berakibat apa-apa. Malah ada yang tidak punya sebab apa-apa, tapi akibatnya ada. Karena yang sebenarnya berkuasa di alam ini adalah Allah SWT, bukan alam itu sendiri dengan hukum yang ada saja.
Jika kita mengambil pelajaran dari musibah ini, perubahan apa yang akan dilakukan untuk keselamatan Bangsa?
Sebenarnya telah disebut dalam ayat Quran dengan sangat jelas: yang membuat alam di darat dan di laut ini binasa adalah manusia. Telah tampak kerusakan di darat dan laut karena tangan-tangan manusia. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Rum (30): 41]
Maka falsafah yang mudah adalah apabila kita tidak mau ada kerusakan di darat dan laut dengan musibah-musibah yang kita lihat sekarang ini, maka tahan tangan-tangan ini dari melakukan kerusakan. Dengan cara pastikan setiap apa yang kita buat sesuai dengan Syariah Allah SWT. Hanya itu, tidak ada yang lain. Perubahan yang kita harapkan adalah perubahan yang bersifat sejati, bukan perubahan yang palsu.
Musibah hari ini, bukan musibah untuk kelompok tertentu. Musibah ini sudah musibah nasional untuk satu bangsa. Maka sepatutnya perubahan yang diharapkan adalah perubahan satu bangsa, bukan perubahan kelompok tertentu. Dan baru akan selesai musibah ini apabila yang berubah adalah bangsa secara keseluruhan.
Perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang sebenarnya yaitu perubahan dalam diri masing-masing yaitu kembali ke jalan yang benar, mengikuti petunjuk dan tidak lagi melakukan kerusakan di muka bumi.
Apakah ada hubungannya perubahan dengan aturan suatu bangsa?
Sebenarnya aturan yang sudah ada bisa untuk meyelamatkan, hanya saja sekarang masalah yang muncul adalah adanya suatu kesengajaan untuk tidak menjalankan aturan. Maka di sini kesalahan bukan lagi pada aturan, tetapi pada pelaksanaan dalam menjalan aturan, akhirnya kerusakan berlaku.
Yang kita harapkan sekarang adalah: pertama, aturan yang sudah ada pastikan seperti yang Allah tetapkan, supaya tidak ada perselelisihan antara aturan yang kita tetap dengan aturan yang telah Allah tetapkan. Sebab aturan yang telah Allah tetapkan pasti baik benarnya, pasti ada faedah dan manfaatnya.
Kedua, setelah kita menetapkan aturan, maka kita jalankan aturan tersebut. Tidak ada maknanya aturan yang kita tetapkan di jalan raya, tapi kita sendiri tidak mengikutinya. Kita katakan mesti berhenti di sini, kemudian kita lewat saja, mesti kecepatan tidak boleh lebih dari 70 km/jam, tapi kita melampaui batas. Tidak boleh parkir di sini, kita justru letakkan mobil di situ. Dengan tidak mengikuti aturan, maka kita telah melakukan ketidaknyamanan di jalan raya dan bisa membawa kecelakaan dan akan mengorbankan orang lain. [a.idris/hidayatullah.com]