FENOMENA pergeseran budaya tidak hanya pada tataran pemikiran. Dalam implementasinya revolusi kenakalan remaja makin membuat miris hati. Maraknya kehidupan bebas kalangan remaja hingga penyakit seksual seperti Lesbian, Homoseksual (Gay), Biseksual hingga Transgender (Waria/bencong) amat mudah ditemui sehari hari.
Yang cukup menarik, gaya hidup rusak ini diselipkan dalam tontonan televise bahkan tak jarang sudah menjadi gaya hidup yang dengan terang-terangan diperjuangkan pengikutnya.
Hidayatullah.com bahkan sempat menemukan fakta di mana budaya free-sex bukan hanya pada urusan prostitusi semata. Bahkan anak-anak muda tanpa malu menjajahkan tubuhnya untuk kesenangan. Fenomena gadis cabe-cabean contohnya. Seorang remaja tidak perlu minta dibayar hanya untuk ditiduri seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Ia bahkan merasa kalah gengsi jika gagal untuk tidur dengan lelaki yang disukainya.
Seberapa kompleks ancaman gaya hidup ini bagi tatanan masyarakat dan keluarga Indonesia, khususnya umat Islam?
Hidayatullah.com mewawancarai Sekjend Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILIA) yang fokus pada masalah feminis dan LGBT, Rita Subagyo. Di bawah ini petikan wawancaranya
***
Apakah yang Anda lihat mengenai fenomena gadis cabe-cabean dan prostitusi ‘terselubung” yang pelakunya anak-anak belia tingkat sekolah?
Rita Subagyo: Ya, saya sudah mendengar banyak cerita mengenai itu, kami masih terus meneliti dan mengumpulkan data dan fakta.
Mengapa gadis-gadis remaja seperti ini cenderung tidak mau otoritas agama?
Rita Subagyo: Pada dasarnya kasus seperti ini ada gejala pengaruh feminisme. Memang feminisme tak ada kaitan dengan penyakit sosial seperti ini. Namun, nilai dan gaya hidup yang diedukasi oleh doktrin feminisme secara tidak langsung atau tidak disadari menjadi pendorong lahirnya perilaku penyimpangan sosial seperti LGBT hingga ke prostitusi.
Feminisme secara tidak langsung menjadi semacam payung untuk menyuburkan eksistensi LGBT, prostitusi, seks bebas dan fenomena penyimpangan sosial lainnya. Terlebih saat ini ide-ide feminisme ada di mana-mana. Tidak harus dengan tulisan untuk menyepakati feminisme, bisa lewat film, internet hingga pesan-pesan lewat musik yang bertebaran. Semua itu memberikan dampak baik sengaja maupun tidak sengaja kepada remaja-remaja kita.
Anda dikenal getol memperjuangkan penolakan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) padahal tanpa RUU kelompok LGBT dan feminisme beserta doktrin-doktrinnya sudah eksis?
Rita Subagyo: RUU KKG ini hanya simbol propaganda. Dengan adanya kita menolak RUU KKG minimal kita ingin memberi tahu para pendukung feminisme tersebut bahwa umat Islam tidak diam. Kami melawan, kami menolak. Namun, jika ditanya apakah penolakan RUU KKG bisa menyelesaikan masalah LGBT, feminisme hingga penyimpangan sosial seperti prostitusi jelas tidak.
Kami sadar bahwa ada keterbatasan dalam diri ini, dan info-info yang kami dapat dari media seperti hidayatullah.com ini tentu sangat membantu kami untuk membangun strategi kami.
Kami sadar sebelum adanya pro kontra RUU KKG pendukung feminisme dan LGBT sudah eksis dan dibiayai oleh luar negeri secara komprehensif.
Selain menolak RUU KKG kami sadar bahwa kami harus mengajak seluruh elemen umat Islam untuk lebih komprehensif melakukan sosialisasi ke akar rumput mengenai ancaman feminisme dan LGBT.
Harus ada keseimbangan antara energi menolak RUU KKG dengan energi mensosialisasikan keburukan feminisme dan ancaman budaya LGBT ke masyarakat level bawah. Karena suburnya prostitusi selalu dimulai dari minimnya pemahaman masyarakat bawah baik soal agama maupun pemikiran-pemikiran seperti feminisme tersebut.
Langkah – langkah seperti apa yang sudah disiapkan AILIA untuk melakukan sosialisasi tersebut?
Rita Subagyo: Pertama kita harus yakin bahwa tidak ada kata terlambat untuk memulai.
Kedua semua elemen umat harus bisa merapatkan barisan. Dari kekuatan sinergi umat itu kita membangun kerjasama untuk bisa melakukan penyaluran informasi mengenai ancaman feminisme ini ke masyarakat paling bawah.
Tentu harus diperhatikan gaya pembahasaannya. Pada takaran kampus kita gunakan bahasa akademis, pada masyarakat umum tentu kita gunakan bahasa yang lebih mudah diterima.
Sama seperti gadis cabe-cabean yang tadi disinggung, mereka tidak perlu paham apa itu feminisme tapi mereka sudah menjalankan doktrin dari feminisme. Pendapat bahwa ini tubuh gue mau gue apain kek, jual kek atau tidur sama siapa adalah hak gue merupakan dampak dari doktrin feminisme yang tanpa sadar sudah dijalani oleh gadis-gadis belia tersebut.
Jadi kitapun perlu mengatur pembahasan sosialisasi ancaman feminisme ini ke masyarakat bawah agar mudah diterima dan bisa dihindari bahkan dilawan bersama.
Kami pernah mewawancarai aktivis gay Indonesia. Ternyata dia menjadi gay trauma pada agama?
Rita Subagyo: Ini perlu proses yang tidak sebentar. Pertama kita tentu harus mempesiapkan sebanyak mungkin psikiater dan psikolog yang memilik view Islam. Pendekatan psikologis saja tentu tidak cukup, perlu penuntunan terhadap ajaran agama secara sabar kepada mereka.
Kedua kita juga akan mempersiapkan tim-tim yang siap mendampingi bukan hanya secara psikologis dan agama tapi juga hukum. Hal ini untuk segera melakukan perlindungan hukum kepada korban kekerasan dalam rumah tangga dengan payung hukum yang tepat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Banyak ide-ide feminis juga berhasil didoktrinkan ketika seorang wanita mengalami kekerasan rumah tangga namun tidak ada payung hukum dari elemen gerakan Islam yang mau mengayomi permasalahan mereka.
Jadi jangan aneh kalau sekarang banyak perempuan lebih suka jadi single parent (sendirian mengasuh anak,red) daripada hidup dengan suami.
Pada saat yang sama hadir masalah baru dimasyarakat yaitu fenomena perceraian. Data yang saya miliki dari Pengadilan Agama Tangerang 70% kasus perceraian yang mereka tangani dimulai dari gugatan cerai sang istri, hal yang sama juga terjadi di Depok.
Jadi dampak feminisme ini memang menjadi masalah yang kompleks. Seorang istri yang menjanda akan sangat terbuka menjadi feminis untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dari sinilah ide mengenai kesetaraan gender, lesbianisme dan sebagainya semakin dirasa benar mewakili perempuan padahal tidak. Ini hanyalah salah satu dampak pengrusakan ke tatanan masyarakat mulai terjadi.
Masalah traumatik, kekecewaan, dendam yang berdampak pada mindset psikologis jelas membutuhkan ekstra sumber daya manusia untuk menanganinya. Kami membutuhkan sayap-sayap untuk bisa bekerja sama. Baik ormas Islam, pengacara muslim atau advokat, tenaga psikiater dan psikolog.
Apa langkah yang bisa diambil AILA atas fenomena gadis cabe-cabean tadi?
Rita Subagyo: Kita berharap ada sinergi baik antara aktivis dakwah dan peran orangtua dalam keluarga. Semuanya harus mengambil peran. Kita boleh militan melawan RUU KKG, tapi perhatikan keluarga kita di rumah, adik-adik kita, kakak-kakak kita dan kerabat kita.
Edukasi feminisme ke masyarakat harus seimbang dengan edukasi ke dalam diri dan keluarga kita masing –masing. Jangan sampai kita sibuk menyerang lalu melupakan kekuatan pertahanan kita yaitu diri kita dan keluarga kita.*