Sambungan wawancara PERTAMA
Apa saja yang anda ketahui dari karya tulis Syeikh Wahbah Zuhaili?
Karya beliau banyak sekali dan yang paling monumental adalah seperti Al-Fiqulislami Wa Fishogi al-Jadid, at-Tafsir al-Munir, Fiqih al-Imam as-sSyafi’i, Fikih al-Imam Abi Hanifah, Fikih al-Imam al-Malik dan seterusnya.
Apa yang bisa diteladani dari seorang ulama Syeikh Wahbah Zuhaili?
Saya kira banyak sekali yang perlu kita teladani, beliau itu konsisten dengan pendapat-pendapatnya dan tidak ada kepentingan lain kecuali hanya dalam rangka berhikmat untuk agama Allah. Dan yang penting kita teladani juga adalah produktifitas menulis. Sebab itu hal yang paling menonjol dari beliau, ketekunannya dalam menghasilkan sebuah karya yang bisa memberikan manfaat bagi umat manusia.
Sejauh mana hubungan anda dengan Syeikh Wahbah Zuhaili?
Saya dekat dengan Syeikh Wahbah, tetapi dekatnya itu cuma ketika beliau sedang ada di Jakarta saja. Kami sering ngobrol maupun belajar bersama di kamar hotel, dan itu sudah berkali kali.
Beliau juga pernah datang ke Pondok Pesantren Darus Sunnah memberikan ceramah kepada santri kami. Beliau juga memberikan tahni’ bagi guru-guru Pondok Pesantren Darus Sunnah yang mempunyai bayi waktu itu.
Apa yang dimaksud dengan tahni’?
Tahni’ itu merupakan sebuah simbol daripada mendapatkan keberkahan dari orang yang ‘alim. Bahkan beliau juga pmemberikan kata pengantar untuk buku kami yang kreteria halal haram itu.
Menurut saya bisa bersama dengan beliau itu senang dan bersyukur sekali menjadi “kacung”, tapi “kacung”nya ulama sekelas Syeikh Wahbah Zuhaili, sebuah kebahagian bagi saya. Kalau saya jadi pembantu tetapi pembantunya ulama itu merupakan kebahagiaan bagi saya.
Kadang-kadang saya menagis sendiri ketika membaca riwayat pembantu-pembantu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam. Saya terharu sekali, seperti saat membaca riwayat Ummu Aiman, yang di pagi hari membawa kambing milik Rasulullah untuk “digembala” di lereng Gunung Uhud. Kemudian sore harinya dia kembali ke rumah sambil membawa kayu bakar.
Selain menggembala kambing milik Rasulullah, Ummu juga memerah susu kambing di waktu pagi, kemudian susu itu diminum Rasulullah dan sebagian disediakan untuk menjamu para tamu, baru sebagiannya lagi dijual di pasar.
Itulah riwayat pembantu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam. Betapa bahagianya Ummu Aiman bisa menjadi pembantu Rasulullah.
Dan tentu yang namanya membantu dengan yang dibantu itu hidup dalam satu rumah. Dan mudah-mudahan ia bisa hidup lagi dalam sebuah surga bersama dengan Rasulullah.
Saya memang tidak bisa menjadi pembantu Rasulullah. Mudah-mudahan saya akan senantiasa membantu Rasulullah dalam menyebarkan serta juga membela hadist-hadistnya.
Makanya saya merasa bersyukur dan bahagia sekali saat Syeikh Wahbah Zuhaili berkunjung ke pesantren kami. Kemudian saya mohon beliau untuk berbaring dan memijatnya.
Itu merupakan kebahagiaan sekali buat saya. Saya lebih bahagia memijat atau melayani ulama yang warosatul anbiya seperti Syeikh Wahbah. Sebab beliau bukan ulama yang KH-nya ‘kurang hajar’ tapi KH-nya itu betul-betul yang Kiai Haji.
Apa yang Anda rasakan saat ini setelah Syeikh Wahbah Zuhaili wafat?
Tentu saja saya sebagai salah satu dari umat Islam sedunia, mungkin tidak berlebihan apabila saya mengatakan bahwa dunia Islam merasa kehilangan dengan wafatnya seorang ulama besar Syeikh Wahbah Zuhaili.
Saya merasa sangat kehilangan betul, sementara untuk saat ini saya belum melihat ada seorang ulama yang bisa menggantikan posisi beliau dari ulama yang satu level setingkat dengannya.
Bahkan, saya pernah bilang kalau dulu dari Syam (Suriah) ada Syeikh Imam an-Nawawi, maka sekarang Syeikh Wahbah Zuhaili itu bisa disebut sebagai ‘Syeikh Imam an-Nawawi’ masa kini.
Tentu andai kata tempat beliau dekat maka saya akan bertakziah ke rumah dan pemakaman beliau tetapi kita tahu tempatnya jauh sekali, cukup dari sini saya akan mendoakan Syeikh Wahbah. InsyaAllah Jumat (14/08/2015) ini nanti di masjid Istiqlal Jakarta akan digelar sholat ghaib untuk beliau.*