Hidayatullah.com– Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) diminta mengevaluasi kebijakan pendataan ulama oleh Polda Jawa Timur, baru-baru ini.
Polda Jatim pun diminta mempertimbangkan untuk mencabut Surat Telegram (TS) Kapolda Jatim terkait kebijakan tersebut.
Hal-hal yang kontraprodukti seperti pendataan ulama itu, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebaiknya dihentikan. Sebab telah bikin takut masyarakat.
“TS itu menimbulkan syiar ketakutan publik,” ujar Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution di Jakarta, Rabu (08/02/2017) melalui siaran pers diterima hidayatullah.com.
Maneger mengatakan, TS itu membuat ingatan publik kembali terbawa pada peristiwa “pembunuhan” terhadap “dukun santet” di Jatim beberapa tahun lalu. “Yang antara lain juga didahului dengan adanya pendataan guru-guru ngaji,” ungkapnya.
“Kita tentu masih berusaha menghadirkan keyakinan dan berharap bahwa tidak ada irisan dan tidak men-cloning pola-pola tersebut,” lanjutnya.
Komnas HAM: Polri Harus Terbuka Jelaskan Agenda Sesungguhnya dari Pendataan Ulama
Diberitakan media ini sebelumnya, Komnas HAM menyoroti pendataan ulama yang dilakukan Polda Jatim tersebut.
Kabar pendataan itu mencuat ke publik setelah beredarnya surat telegram (ST) Polda Jatim bernomor ST/209/1/2007/RO SDM tertanggal 30 Januari 2017 terkait pendataan ulama.
Maneger mengatakan, penerbitan ST itu menuai kritik publik.
“Pemerintahan (Presiden-Wakil Presiden) Jokowi-Jusuf Kalla khususnya Kepolisian Negara (Polri) sebaiknya, pertama, menjelaskan ke publik secara terbuka agenda sesungguhnya dari kebijakan tersebut,” ujarnya.
Penjelasan secara terbuka itu, kata Maneger, agar modal sosial Polri tidak semakin defisit dan ketidakpercayaan publik atas Polri tidak semakin sempurna.
Kapolri Diminta Hentikan Praktik Penistaan dan ‘Kriminalisasi’ Ulama oleh Siapapun
Penjelasan Kapolda Jatim
Sementara, menurut Kapolda Jatim Inspektur Jenderal Pol Machfud Arifin, tidak ada persoalan terkait dengan pendataan itu.
Menurut Machfud yang dilantik menjadi Kapolda Jatim awal Januari 2017 lalu ini, persoalan pendataan ulama tidak perlu terus-terusan dibahas.
Menurutnya, kebijakan itu jangan dijadikan penilaian negatif pada kalangan ulama dan masyarakat.
“Saya rasa tidak perlu dibahas. Jangan itu dijadikan penilaian yang negatif. Sekali lagi, data itu untuk dikunjungi (para ulamanya. Red), bukan untuk lain-lain,” klaimnya, Jumat (03/02/2017), kutip surabayapost.net.*