Hidayatullah.com | Sarmini lahir di Jember, 28 Agustus 1975, dari keluarga petani yang tidak memiliki sawah. Ayahnya bernama Suyatni. Sedang ibunya bernama Faizah. Meski tinggal di pedesaan bagian timur Pulau Jawa, tetapi ia memiliki semangat menuntut ilmu yang begitu membara.
Bahkan, sejak duduk di bangku Aliyah (MA), Sarmini bermimpi bisa belajar bahasa Arab langsung dari native speaker (penutur asli) di Timur Tengah. Alumni fakultas Dirosat Islamiyah STAI al-Hikmah Jakarta inipun berikhtiar mencari peluang untuk mewujudkan impiannya itu pada masa akhir kuliah.
“Akhir S1 ada kesempatan tes untuk belajar di Sudan. Saya ikut dan diterima, tapi karena tak diizinkan (oleh orangtua), saya tidak bisa berangkat,” jelas anak ketiga dari enam bersaudara ini.
Kesempatan kedua pun hadir setelah Sarmini menikah dengan seorang lelaki yang kala itu tengah menempuh pendidikan magister di Sudan. Kedua orangtuanya pun mengizinkan, sehingga alumni MA Pesantren al-Islam Ponorogo ini bisa berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan S2 di Universitas International Khartoum, Sudan.
Menariknya, meskipun hidup dalam keterbatasan sewaktu kuliah di sana, bahkan menempati rumah yang dindingnya terbuat dari kotoran keledai dan atapnya dari pelepah kurma, Sarmini meraih pernghargaan sebagai mahasiswa terbaik se-Asia Tenggara di Sudan pada waktu itu.
Apa motivasi Anda memilih belajar hingga ke Timur Tengah?
Mungkin bahasa yang paling cocok, sebetulnya saya tersesat di jalan yang benar. Karena intinya sejak MA saya ingin belajar bahasa Arab langsung dari native-nya. Sejak S1 saya berusaha untuk mendapatkan peluang itu tapi tampaknya jalannya tak mudah. Di akhir S1 ada kesempatan tes untuk belajar di Sudan. Saya ikut dan diterima, tetapi karena tidak diizinkan saya tidak bisa berangkat.
Qadarullah kemudian saya menikah. Sebab saat itu suami sedang belajar di sana, sehingga saya diizinkan ke Sudan. Lalu, karena pengajuan S1 yang diterima tidak terpakai, akhirnya saya mengajukan baru untuk S2. Meski sudah penutupan saat saya datang mendaftar, tetapi karena Allah Ta’ala mudahkan, banyak pihak yang membantu, tetap bisa mengikuti tes dan diterima.
Alhamdulillah saya juga mendapat beasiswa. Sebagai tanggung jawab mau nggak mau, saya harus belajar sungguh-sungguh. Waktu itu, saya menjadi satu-satunya wanita yang diterima di fakultas pengajaran bahasa Arab Sudan dari bangsa non-Arab pada tahun 2001. Sebelum itu belum pernah ada.
Kebayang saya nervous, mendapatkan beban beasiswa, belajar bahasa Arabnya dari Indonesia. Mampu nggak menjadi duta Indonesia sebaik-baiknya. Akhirnya Allah SWT mudahkan. Intinya saya belajar setiap hari, pergi ke perpustakan dan Allah takdirkan saya menjadi mahasiswa terbaik se-Asia tenggara. Kemudian S3, yang biasanya ACC lama, juga nggak begitu lama. Saya pun tetap mendapatkan beasiswa. Karena tak boleh jauh-jauh dari bidang studi S2, saya ambil kurikulum dan metode pembelajaran untuk S3-nya.
Bahasa Arab juga?
Ya pokoknya saya jalani sebab sudah mendapat beasiswa, tanggung jawab moral. Jangan sampai di belakang, mahasiswa Indonesia menjadi sulit, karena saya tidak tanggung jawab dan seterusnya. Jadi, waktu itu, saya S3 dengan 3 anak dan Allah SWT pilihkan universitas yang susah, pembimbing yang amat telaten, dan penguji yang sangat teliti. Makanya, saya bilang itu tersesat di jalan yang benar. Kalaupun ada pilihan lain yang lebih baik, waktu itu mungkin saya tidak memilih ke Sudan.
Apa hikmahnya?
Itulah cara Allah SWT mentarbiyah saya. Baru saya sadari setelah menyelesaikan seluruhnya. Begitu selesai, saya taruh semua karena sudah bebas dari kewajiban. Saatnya saya ngurus anak kedua dan ketiga yang sempat tertunda karena pingin cepat-cepat menyelesaikan S3.
Sekarang ini saya harus mengakui bahwa metode yang saya terapkan sangat kuat irisannya dengan apa yang saya pelajari dari S2 serta S3. Dan itu sadarnya setelah selesai. Allah SWT mengarahkan kepada jurusan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan saya. Waktu masih S2 dan S3, saya menjalaninya karena rasa tanggung jawab sudah mendapatkan beasiswa.
Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa terbaik se-Asia Tenggara di Sudan?
Pertama, mungkin lebih kepada rasa syukur, karena amanah yang diberikan tidak saya sia-siakan. Kedua, amanah itu suatu saat menjadi bagian sejarah yang dapat diceritakan kepada anak-anak. Jadi, ketika saya melakukan sesuatu harus berpikir untuk jangka panjang. Kalau hari ini saya main-main, apa yang bisa saya ceritakan kepada anak-anak? Pasti tidak akan memberikan pengaruh saat meminta mereka untuk belajar sungguh-sungguh.
Sosok pembelajar yang serius seperti Anda apakah hasil didikan dari orangtua?
Alhamdulillah, orangtua itu supot doa-doanya masyaAllah. Kami ini keluarga tani yang tidak memiliki sawah. Kalau orang jawa, ada istilah dengan belajar sungguh-sungguh dan sekolah yang tinggi bisa menjadi “orang”.
Hal apa yang paling ditekankan orangtua kepada anak-anak?
Bapak itu pendiam. Bicara seperlunya. Tetapi saya punya keyakinan bahwa bapak percaya kalau saya pasti mampu. Sedang ibu menjadi tempat pelabuhan doa-doa kami sebab mustajab insyaAllah. Ibu juga istilahnya pintar momong. Keberhasilan yang saya raih itu karena taufiq-Nya serta doa dari orangtua serta keluarga besar.
Yang paling berkesan dari orangtua hingga sekarang?
Secara umum, saya syukuri bahwa kedua orangtua, bahkan kakek-nenek saya bisa membaca al-Qur’an. Bagi sebagian masyarakat umum langka. Orangtua saya amat menikmati dalam mengaji al-Qur’an.*