ALHAMDULILLAH! Bulan Mei ini, Kelompok Media Hidayatullah (KMH) terkhusus Majalah Suara Hidayatullah berusia 28 tahun. Kurun waktu itu, kami terus berikhtiar menyajikan tulisan-tulisan terbaik. Pernahkah terbayangkan, bagaimana tulisan, liputan, wawancara, dan berbagai sajian itu akhirnya bisa dibaca?
Di balik itu, banyak proses yang melelahkan, mendebarkan, bahkan menakutkan, serta unik, lucu, dan tak terduga. Berikut sebagian kecil cerita suka duka wartawan KMH dalam memburu berita.
Menantang Maut di Suriah
Deadline selalu menegangkan. Otak seperti diperas dan seakan susah menghela nafas.
Ada satu “rahasia” di dapur redaksi. Jika Dadang Kusmayadi, Pemimpin Redaksi Suara Hidayatullah, sudah mulai sariawan, nah… itu pertanda masa deadline mencapai puncak!
Rasanya lega jika masa itu berlalu. Para wartawan bisa rehat sejenak dari rutinitas. Namun itu tidak bisa dirasakan Niesky Hafur Permana. Baru selesai mengerjakan Laporan Utama edisi April 2014, ia segera liputan lagi. Bukan di Indonesia, namun nun jauh di sana: Suriah!
Langsung terbayang bom, mortir, desingan peluru, dan suasana perang. Kenapa harus dirinya? Niesky siap. “Ini kesempatan sekaligus amanah umat Islam di Indonesia untuk memberitakan kejadian sesunguhnya di negeri Syam,” ujarnya.
Ia pun berangkat bersama tiga wartawan lain (10 April 2014), atas dukungan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dan Forum Indonesia Peduli Suriah (FIPS).
Sempat masuk ke handphone-nya pesan dari Bambang Subagyo, redaktur di kantor Surabaya, “Apakah Antum (Anda) sudah membuat surat wasiat untuk keluarga?”
“Ah, saya berpikir, kalau meninggal sih bisa di mana saja. Saya fokus untuk melaksanakan tugas saja,” ujar Niesky.
Rombongan tiba di Turki. Alhamdulillah bisa wawancara dengan ulama-ulama Suriah yang sedang ada acara pertemuan di Istanbul. Namun Suriah tetap jadi tujuan utama. [Baca hasil wawancaranya: “Konflik ini Membuka Tabir Perselingkuhan Rezim Bashar dengan Israel”]
Sampailah di Provinsi Idlib. Kondisinya porak poranda, minim penerangan, dan tak ada air. Tampak warga bebas berlalu lalang menenteng senjata AK 47. Meski dalam suasana perang, jarang ada wajah sedih atau gamang.
Jantung Niesky berdegup kencang ketika masuk zona perang. Seorang ulama bertanya, “Apakah benar-benar siap? Jika kita tidak bertemu lagi setelah ini, mungkin kita insya Allah akan bertemu di surga.”
Sepanjang jalan terus terdengar tembakan. Rombongan kemudian tiba di lokasi, sebuah rumah tak berpenghuni. Sebagian hancur. Temboknya bolong-bolong dihajar bom.
Baru 10 menit mengawasi situasi, rombongan diperintah segera masuk rumah. Ada helikopter pengintai milik tentara rezim Bashar Assad yang berputar-putar mencari sasaran tembak.
“Kalian harus selamat agar bisa membawa berita untuk Muslim di Indonesia,” ucap seorang mujahidin. Alhamdulillah, semua selamat. [Baca: Tiga Jurnalis JITU Liput Langsung Konflik di Suriah]
Pertengahan tahun 2015, Nanggroe Aceh Darussalam kebanjiran pengungsi asal Rohingya. Berangkatlah Muhammad Abdus Syakur untuk liputan, bekerjasama dengan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). [Baca: Malam Pertama Bersama Idris di Pengungsian]
Fotografer ini menuju kamp pengungsian di Pelabuhan Kuala Langsa, sekitar 5 kilometer dari pusat kota. Ia harus bekerja keras menerjemahkan percakapan bahasa Melayu ala Upin Ipin dan bahasa Rohingya.
Dalam situasi serba terbatas, eh… tasnya terbawa oleh relawan. “Dua harian saya tak berganti pakaian,” ujar pria yang kakinya pernah tergencet pagar ketika memotret demo di Jakarta ini.
Liputan lalu bergeser ke Lhokseumawe. “Ente harus memotret suasana kapal pengungsi Rohingya,” pesan Cholis Akbar, Redaktur Pelaksana hidayatullah.com.
Syakur menuju Pusat Pelelangan Ikan Pusong, Lhokseumawe. Di situ ia naik ke kapal bekas pengangkut 600-an pengungsi Rohingnya melalui perahu kecil di sebelahnya. Nah, ketika saatnya turun dari kapal, perahu kecilnya sudah tak ada. Mau lompat pun tak memungkinkan.
Ia akhirnya meluncur lewat tali kapal. Aksi outbound itu dijepret kawannya. Sang fotografer pun jadi objek foto. [Baca kisah lengkapnya: Dedikasi Wartawan, Bukan Ikut Outbond]* Pambudi Utomo, bersambung