Di antara papan kayu dan pasir Gurun Sahara di Syinqith, keturunan dari Bani Hasyim yang juga cucu Rasulullah ﷺ ini terus menghafal dan mengajarkan Al-Quran, tradisi keilmuan yang dijaga turun-temurun
Hidayatullah.com | DI JANTUNG GURUN SAHARA, di dalam negara yang jarang dikunjungi orang tetapi dikagumi banyak orang, terletak sebuah kota yang dipenuhi pasir, sejarah, dan kesucian.
Di ujung barat laut Afrika ini tersembunyi sebuah kota yang telah berdiri sejak abad ke-8 Masehi.
Selamat datang di Syinqith (Chinguetti), permata kuno Mauritania — tempat di mana Al-Quran tidak hanya dibaca, tetapi juga dihayati, dihafal, dan diagungkan hingga taraf yang tidak ada duanya di dunia.
Di Mauritania, menghafal Al-Quran lebih dari sekadar kewajiban agama. Itu adalah tulang punggung budaya, ritme kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di negeri yang berangin dan berdebu ini, bahkan kerasnya gurun tidak mampu mengubur kedalaman pengabdian.
“Seorang anak yang mencapai usia tujuh tahun tanpa menghafal Al-Quran,” kata penduduk setempat, “dianggap sebagai aib bagi keluarga.”
Ini bukan tekanan — itu adalah hasrat. Di Syinqit, menghafal dimulai sebelum lahir. Ibu hamil dikenal suka membaca dan menghafal ayat-ayat suci Al-, dengan harapan dapat memberkati anak mereka yang belum lahir dengan suara wahyu.
Begitu lahir, telinga bayi dipenuhi dengan bacaan Al-Quran, dan saat seorang anak belajar membaca, mereka sudah membacakan ayat-ayat suci yang telah mereka dengar ratusan kali.

Syinqith atau Sinkit (Chinguetti) — atau Sinkit, demikian sebutannya — terletak di Dataran Tinggi Adrar di Mauritania, sebuah negara yang berbatasan dengan Mali, Senegal, Aljazair, Samudra Atlantik, dan Sahara Barat.
Hampir 90% wilayahnya berupa gurun, namun telah melahirkan tradisi ilmiah yang kaya dan lestari. Didirikan pada abad ke-8, Chinguetti dulunya merupakan persimpangan jalan yang ramai bagi para peziarah dalam perjalanan menuju Makkah dan pusat perdagangan dan pendidikan Islam yang berkembang pesat.
Sebagian besar penduduk Syinqith merupakan keturunan Arab, terutama dari Bani Hasyim. Mereka menisbatkan nasabnya pada Hasan dan Husein, cucu Rasulullah ﷺ, serta sahabat Ansar.
Identitas ini tak hanya menjadi kebanggaan, tetapi juga memperkuat tradisi keilmuan dan spiritualitas Islam yang dijaga turun-temurun.
“Silsilah kami bukan sekadar pohon keluarga, tapi rantai amanah untuk menjaga ilmu,” kata Sheikh Abdullah Ould Hassan, salah satu tetua kota.
Syinqith dahulu merupakan kota oasis dan pusat perdagangan penting di gurun. Para jemaah haji dari barat Afrika biasa singgah di sini sebelum melanjutkan perjalanan ke Makkah.
Lama kelamaan, kota persinggahan ini menjelma menjadi pusat keilmuan yang mendalam—agama, hukum, bahkan sains Islam.
Namun waktu dan alam tak selalu bersahabat. Badai pasir yang bergerak dengan kecepatan 48 km per tahun telah menggerus banyak bagian kota.
Penduduk yang dahulu mencapai ribuan, kini tinggal ratusan. Banyak yang telah meninggalkan kota demi bertahan hidup.
Meski demikian, kota ini masih menyimpan kekayaan lain: ribuan manuskrip kuno yang sebagian berasal dari abad ke-12. Teks-teks Al-Qur’an, tafsir, hukum, filsafat, astronomi, dan kedokteran Islam tersimpan rapi di 13 perpustakaan keluarga.
Jumlah ini jauh menurun dari masa kejayaannya yang mencapai 30 perpustakaan.
“Ini bukan sekadar buku tua. Ini adalah jati diri kami,” tegas Sidi Ould Ahmed, penjaga perpustakaan generasi ketiga di keluarganya. Ia menolak upaya pemerintah yang ingin mengambil alih manuskrip untuk pelestarian.
“Kami lebih memilih merawatnya sendiri, meski penuh risiko,” tambahnya.
Meski kondisi bangunan banyak yang telah renta dan iklim gurun mempercepat kerusakan, para penjaga tetap teguh. Mereka membuka akses bagi siapa pun yang ingin belajar, tanpa memungut bayaran.
Meskipun hanya ada lima perpustakaan yang tersisa saat ini, isinya — lebih dari 1.300 manuskrip — dilindungi dengan ketat oleh para penjaga setempat.
“Memindahkan manuskrip-manuskrip ini,” seorang pustakawan menegaskan, “berarti memutus rantai tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.”

Negeri Para Penghafal Al-Qur’an
Mauritania, negara terbesar ke-11 di Afrika, didominasi oleh gurun yang meliputi 90% wilayahnya. Namun, dari tanah gersang inilah lahir salah satu tradisi penghafalan Al-Qur’an terbaik di dunia.
Sejak abad ke-13, Syinqith/Shinkit dikenal sebagai kota para huffazh, tempat di mana anak-anak sudah mulai menghafal Al-Qur’an sejak usia dini.
“Jika ada anak berusia tujuh tahun belum hafal Al-Qur’an, orang tuanya merasa malu. Itu dianggap kegagalan pendidikan,” ujar Ustaz Muhammad Ould Baraka, seorang guru di madrasah lokal, saat ditemui di salah satu pondok penghafal Al-Qur’an di Syinqith.
Di kota ini, pendidikan agama dimulai sejak kandungan. Ibu-ibu yang tengah hamil tak hanya menjaga asupan gizi, namun juga memperdengarkan ayat-ayat suci sambil melakukan murajaah—mengulang hafalan mereka sepanjang hari.
Mahazar dan Peradaban Terkubur Pasir
Sistem pendidikan yang dikenal dengan nama mahazar memungkinkan para siswa menulis ayat suci di atas papan kayu menggunakan tinta alami dari tumbuhan lokal.
Teknik penghafalan pun tidak main-main: satu ayat bisa diulang lebih dari 3.000 hingga 5.000 kali agar benar-benar melekat di memori. Mereka belajar secara berkelompok, berkompetisi secara sehat dalam suasana yang membangun.
“Pengulangan adalah inti dari metode kami. Bahkan setelah selesai hafal, kami terus mengulangnya setiap hari,” jelas Ahmed Ould Salem, penghafal Qur’an berusia 19 tahun yang kini mengajar murid-murid baru di tenda madrasahnya.
Syinqith/Shinkit hari ini mungkin hanya bayangan kejayaannya—namun bayangan itu masih hidup.
Meski sudah tidak lagi menjadi pusat dunia Islam, namun semangatnya tetap menyala—pada setiap papan kayu yang masih digunakan murid-murid, pada setiap butir pasir yang mengingatkan tentang ketekunan, dan pada setiap ayat suci yang terus dilantunkan.
Para guru muda masih terus mengajar, anak-anak masih menghafal, perpustakaan masih dibuka, dan adzan masih berkumandang dari menara tanah liat.
Seperti kata seorang guru tua yang tak mau disebutkan namanya, “Pasir bisa menutupi jalan kami, tapi tidak hati kami. Hafalan kami akan hidup selama kami hidup,” ucap Fatimah Ould Didi, pustakawan perempuan yang kini memimpin restorasi naskah-naskah langka.
“Selama satu ayat masih diulang, Shinkit belum mati,” katanya.*/Cha, dari berbagai sumber